Senin, 22 Maret 2010

Polisi di Prom Pi Ram

Milikilah keberanian untuk mengatakan tidak. Milikilah keberanian
untuk menghadapi kebenaran. Lakukan hal yang besar karena memang
itu benar. Inilah kunci penting untuk hidup dengan integritas.
—W. Clement Stone


Prom Pi Ram adalah nama suatu tempat atau wilayah di Thailand, yang dijadikan judul sebuah film—dan film itulah yang sekarang ingin saya ceritakan. Film berjudul Prom Pi Ram ini bisa dikatakan film biasa, dalam berbagai faktornya. Film ini memiliki tema biasa, diperankan orang-orang biasa, dengan setting yang juga biasa, tetapi layak mendapatkan apresiasi, hingga saya menuliskannya di sini.

Mengambil setting waktu tahun 1977, film ini bergerak seperti film dokumenter. Kisahnya mengenai seorang wanita desa yang pergi ke kota, dengan tujuan untuk menemui suaminya yang bekerja di sana. Karena tidak memiliki uang yang cukup, wanita ini pun pergi dengan bekal minim, sehingga ia sampai tidak bisa membayar tiket kereta yang ditumpanginya.

Dari sinilah petaka terjadi—dan film ini pun berawal serta bergerak dari kisah ini. Wanita tadi dipaksa turun dari kereta karena tak memiliki tiket, dan kemudian perjalanannya dalam usaha menemui suaminya itu membawanya kepada tragedi—dia diperkosa dan dibunuh.

Saat mayat wanita itu ditemukan oleh warga desa, polisi pun datang ke lokasi dan mulai melakukan penyelidikan atas identitas wanita tersebut, juga mulai menelusuri kasus serta mencari pelakunya. Seperti yang tadi telah disebutkan, film ini biasa-biasa saja. Dalam perjalanan penelusuran dan penyelidikan atas kasus perkosaan dan pembunuhan tersebut, film ini tidak menggambarkan ketegangan seperti film-film Hollywood yang penuh adegan baku tembak dan kejar-kejaran yang menegangkan.

Sebaliknya, Prom Pi Ram berjalan dengan alur yang berkesan datar, meski tetap membuat penonton penasaran dan bertanya-tanya, siapakah sebenarnya pelaku perkosaan dan pembunuhan atas wanita tersebut. Daya tarik sekaligus kelebihan utama film ini memang plot atau jalan cerita yang bagus. Tanpa plot yang bagus ini, sepertinya Prom Pi Ram hanya akan menjadi tontonan yang amat membosankan. Dari plot utama, film ini mampu menghadirkan sub-sub plot yang cerdas sekaligus membumi.

Karena inti ceritanya adalah penelusuran atas kasus kejahatan (perkosaan dan pembunuhan), maka para pemeran utamanya pun para polisi. Di sinilah letak keistimewaan film ini. Prom Pi Ram menggambarkan polisi-polisi berintegritas dalam mengungkap kasus itu, dan hal itu ditunjukkannya dengan adegan-adegan yang bagus. Dalam salah satu adegan, sekelompok polisi mendatangi rumah seseorang yang mereka curigai. Karena belum memiliki dasar sangkaan yang kuat, polisi-polisi itu pun mendatangi rumah orang tersebut tanpa membawa surat perintah penggeledahan.

Sewaktu dipanggil dari depan rumah, si orang bersangkutan tidak juga keluar dari rumahnya. Karena capek memanggil-manggil, seorang polisi pun berkata pada inspekturnya, “Pak, bagaimana kalau kita geledah saja rumahnya?”
“Tidak,” jawab sang Inspektur. “Kita tidak membawa surat resmi, dan menggeledah rumahnya akan menjadi pelanggaran hukum.”

“Tapi dia belum tentu tahu hukum, Pak.”

Sang Inspektur menjawab, “Dia mungkin tidak tahu hukum, tetapi kita tahu.”

Dialog-dialog itu sederhana, tetapi cerdas sekaligus menyiratkan integritas yang baik. Dalam salah satu adegan yang lain, seorang Ketua Warga Desa (mungkin kalau di sini semacam Kepala Desa atau Pak Lurah), datang ke kantor polisi dan membawa sekeranjang makanan yang dihias pita. Sang Inspektur yang menerima Ketua Warga Desa itu pun menyambutnya dengan ramah, dan mereka bercakap-cakap. Saat ditanya untuk apa membawa makanan ke kantor polisi, si Ketua Warga Desa menjawab, “Ini sebagai ucapan terima kasih dari warga desa, karena kepolisian telah berhasil menangkap penjahatnya.”

Sang Inspektur menolak pemberian itu. Ingat, setting kisah ini pada tahun 1977, dan hadiah berupa makanan dalam keranjang yang dihias pita semacam itu pastilah hadiah yang tergolong mewah. Adegan itu pun dengan bagus menunjukkan tingginya integritas polisi menjaga kejujuran dalam profesinya, sehingga mereka benar-benar layak untuk dianggap sebagai “pelayan masyarakat” dalam arti sesungguhnya.

Sampai kemudian, kerja keras polisi berhasil meringkus orang-orang yang dicurigai terlibat dalam kasus kejahatan itu. Yang mengerikan, pelaku kejahatan itu bukan hanya satu orang, tetapi cukup banyak orang, dan dua di antaranya adalah para pejabat desa. Ketika para pejabat desa itu ditangkap, walikota di daerah Prom Pi Ram mendatangi kantor polisi dan meminta agar kedua orang itu dibebaskan, karena dua orang itu memberikan dukungan suara kepadanya dalam pemilihan walikota. Sang inspektur polisi kembali menunjukkan integritasnya yang tinggi—dia menolak permintaan itu, meski diancam akan dimutasi ke daerah lain.

Sekali lagi, Prom Pi Ram adalah film biasa—dengan kisah biasa, setting biasa, jalan cerita biasa, bahkan dengan tokoh orang-orang biasa. Bayangkan, kita tidak akan menemukan wajah cantik atau tampan dalam film ini. Semua pemeran tokoh dalam film ini benar-benar “orang biasa” dalam arti sesungguhnya—warga desa yang sederhana, bahkan amat sederhana dalam semua aspeknya. Tetapi, hebatnya, semua tokoh yang ada dalam film ini sangat bagus dalam memainkan perannya masing-masing, sehingga film ini terkesan begitu nyata.

Sewaktu menontonnya, saya jadi teringat pada serial Mbangun Desa di TVRI yang dulu terkenal dengan tokoh Den Baguse Ngarso itu. Film Prom Pi Ram juga tak jauh beda dengan itu—sederhana, bersahaja—namun diperankan dengan sangat baik, sekaligus membawa pesan yang baik, sehingga layak diapresiasi. Sepertinya, Indonesia juga perlu membuat film seperti itu, agar polisi-polisi di negeri ini pun dapat memiliki cermin yang bagus untuk melihat, menilai, dan menakar diri sendiri.

Polisi di Indonesia mungkin sudah baik, tetapi tak pernah ada kata berhenti untuk memperbaiki diri.

 
;