Negeri yang kita tinggali ini bukan hanya negeri paling korup di dunia, tetapi juga negeri yang paling banyak melahirkan peraturan-peraturan aneh, juga rancangan undang-undang yang konyol. Orang-orang yang biasa merancang undang-undang itu sepertinya tidak kapok-kapok melihat reaksi masyarakat yang menolak setiap kali ada rancangan undang-undang tak masuk akal—dan mereka terus saja merancang undang-undang yang makin tak masuk akal. Salah satu rancangan undang-undang tak masuk akal kali ini menyangkut RUU Perkawinan.
Di antara pasal-pasal yang dirancang dalam Undang-Undang Perkawinan itu menyebutkan, bahwa laki-laki asing yang akan mengawini wanita Indonesia diharuskan membayar deposit sebesar setengah miliar—tetapi hal itu tak berlaku jika perempuan asing mengawini lelaki Indonesia. Jadi, kalau rancangan undang-undang ini nantinya disetujui dan disahkan, maka kau yang kebetulan cowok berkewarganegaraan asing perlu memiliki tabungan minimal setengah miliar untuk mengawini pacarmu, kalau kebetulan pacarmu orang Indonesia asli.
Saya merasa perlu menulis hal ini, bukan karena nominal depositnya itu. Yang saya risaukan adalah kenyataan betapa ternyata mental para pembuat undang-undang di negeri ini tak pernah berubah dan masih saja terbelenggu oleh “penyakit masa lalu” yang terus saja menempatkan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek, yang tetap saja menganggap laki-laki sebagai pihak “pembeli”, sementara perempuan sebagai komoditas yang memiliki nilai tukar.
Dan mengenai jumlah setengah miliar itu…? Dari mana jumlah itu didasarkan? Apa yang menjadi patokan, standar atau ukuran sehingga kemudian didapatkan jumlah setengah miliar itu? Jika yang menjadi tujuan dari rancangan undang-undang ini adalah pemasukan devisa bagi negara, alangkah murahnya wanita Indonesia! Ayolah, jumlah setengah miliar itu sangat murah, tak ada apa-apanya dibanding harga BMW keluaran baru, tak ada apa-apanya dibandingkan jumlah korupsi para penjahat.
Negeri ini memang rakus. Setelah menjadikan para TKW sebagai sapi perah devisa, sekarang negeri ini juga berencana untuk menjual wanita-wanita lainnya demi tujuan yang sama. Padahal, kita semua tahu bahwa segala sesuatu menjadi murah bukan karena ia tak memiliki harga, tetapi justru ketika telah dilekati harga. Semahal dan setinggi apa pun, sesuatu akan turun nilainya ketika telah dilabeli harga—karena orang akan bisa menakar nilainya.
Jika urusan cinta dan menikahi seseorang telah pula dilekati harga yang telah diundangkan, maka cinta dan perkawinan bukan lagi masalah penting atau urusan sakral—ia tak lebih dari sekadar praktek perdagangan. Dan ketika hal semacam itu yang terjadi, maka benarlah yang dikatakan Nietzche, bahwa “perkawinan adalah bukti dari kebodohan sesaat menjadi kebodohan berkepanjangan.”
Di antara pasal-pasal yang dirancang dalam Undang-Undang Perkawinan itu menyebutkan, bahwa laki-laki asing yang akan mengawini wanita Indonesia diharuskan membayar deposit sebesar setengah miliar—tetapi hal itu tak berlaku jika perempuan asing mengawini lelaki Indonesia. Jadi, kalau rancangan undang-undang ini nantinya disetujui dan disahkan, maka kau yang kebetulan cowok berkewarganegaraan asing perlu memiliki tabungan minimal setengah miliar untuk mengawini pacarmu, kalau kebetulan pacarmu orang Indonesia asli.
Saya merasa perlu menulis hal ini, bukan karena nominal depositnya itu. Yang saya risaukan adalah kenyataan betapa ternyata mental para pembuat undang-undang di negeri ini tak pernah berubah dan masih saja terbelenggu oleh “penyakit masa lalu” yang terus saja menempatkan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek, yang tetap saja menganggap laki-laki sebagai pihak “pembeli”, sementara perempuan sebagai komoditas yang memiliki nilai tukar.
Dan mengenai jumlah setengah miliar itu…? Dari mana jumlah itu didasarkan? Apa yang menjadi patokan, standar atau ukuran sehingga kemudian didapatkan jumlah setengah miliar itu? Jika yang menjadi tujuan dari rancangan undang-undang ini adalah pemasukan devisa bagi negara, alangkah murahnya wanita Indonesia! Ayolah, jumlah setengah miliar itu sangat murah, tak ada apa-apanya dibanding harga BMW keluaran baru, tak ada apa-apanya dibandingkan jumlah korupsi para penjahat.
Negeri ini memang rakus. Setelah menjadikan para TKW sebagai sapi perah devisa, sekarang negeri ini juga berencana untuk menjual wanita-wanita lainnya demi tujuan yang sama. Padahal, kita semua tahu bahwa segala sesuatu menjadi murah bukan karena ia tak memiliki harga, tetapi justru ketika telah dilekati harga. Semahal dan setinggi apa pun, sesuatu akan turun nilainya ketika telah dilabeli harga—karena orang akan bisa menakar nilainya.
Jika urusan cinta dan menikahi seseorang telah pula dilekati harga yang telah diundangkan, maka cinta dan perkawinan bukan lagi masalah penting atau urusan sakral—ia tak lebih dari sekadar praktek perdagangan. Dan ketika hal semacam itu yang terjadi, maka benarlah yang dikatakan Nietzche, bahwa “perkawinan adalah bukti dari kebodohan sesaat menjadi kebodohan berkepanjangan.”