Di rumah saya banyak tikus—besar dan kecil. Banyaknya tikus itu mungkin karena rumah saya dikelilingi tanah kosong cukup luas di bagian samping dan belakang. Karena tikus-tikus itu pulalah saya kemudian membeli perangkap tikus berbentuk kurungan yang memiliki pintu jebakan. Dengan kurungan perangkap itu, saya biasa menjebak tikus di rumah dengan memasangkan kepala ikan atau sejenisnya, dan tikus-tikus malang itu pun biasanya masuk ke perangkap untuk kemudian menjemput kematiannya.
Setiap kali mendapati seekor tikus yang terperangkap dalam kurungan jebakan itu, saya berpikir dan bertanya-tanya—namun tetap saja tidak yakin dengan jawabannya. Yang saya pikirkan dan tanyakan, kenapa setiap malam selalu saja ada tikus baru yang terjebak dalam perangkap itu, padahal malam kemarin tikus-tikus itu sudah melihat dan menyaksikan kenyataan tersebut…?
....
....
Bayangkan kau seekor tikus yang biasa keluyuran di rumah saya, dan kau punya teman-teman sesama tikus, serta berpacaran dengan seekor tikus yang seksi. Suatu malam, seekor sohibmu sesama tikus berjalan-jalan sendirian mencari makanan. Tanpa sengaja dia mendapati makanan lezat yang tergantung-gantung manja di dalam sebuah kurungan besi yang tampak aneh. Karena lapar, tikus sohibmu itu pun masuk ke dalam kurungan itu, dan meraih makanan di dalamnya. Saat moncongnya menyentuh makanan itu, pintu kurungan di belakangnya secara otomatis menutup, dan… tikus sohibmu itu pun terjebak di dalamnya tanpa bisa keluar!
Tikus sohibmu mencicit dan berteriak-teriak dalam bahasa tikus—meminta tolong kepada siapa pun sesama tikus untuk dapat mengeluarkannya dari jebakan yang sekarang mengurungnya. Kau dan teman-temanmu sesama tikus mendengar panggilan teriakan minta tolong itu, dan kalian pun mendapati tikus sohib kalian tengah kebingungan di dalam kurungan. Lebih bingung lagi, kalian semua tak tahu bagaimana cara mengeluarkan tikus itu dari dalam kurungan.
“Apa yang terjadi…?” Kau bertanya pada tikus yang ada dalam kurungan itu. “Kenapa kau bisa berada di dalam situ?”
Tikus temanmu menjawab dengan bingung, “Aku tidak tahu, pal. Tadi aku cuma ingin makan makanan yang ada di sini, tapi… well, pintu di sebelah sini tiba-tiba menutup begitu aku menyentuh makanan ini.”
“Kok bisa?” tanyamu dengan bingung campur takjub.
“Yeah, mana aku tahu?!” tikus temanmu menjawab dengan frustrasi. “Cepat, carikan jalan agar aku bisa keluar dari kurungan sialan ini!”
Kemudian, seekor tikus yang cukup bijak di antara kalian berkata perlahan-lahan layaknya filsuf yang telah kenyang makan asam garam dunia, “Hmm… sepertinya kurungan yang mengurungmu ini kurungan jebakan.”
Tikus dalam kurungan mencicit keras-keras, “Aku tahu ini kurungan apa, goblok! Semua juga tahu kalau ini kurungan jebakan—karena aku sudah terjebak di sini!”
Sampai semalaman kalian tetap tak menemukan cara untuk dapat mengeluarkan tikus sohib kalian dari dalam kurungan itu—dan sejak itulah kalian kehilangan seorang teman sesama tikus. Malam itu menjadi malam terakhir bagi kalian melihatnya, karena sejak saat itu si tikus yang malang tersebut tak pernah terlihat lagi. Sampai kemudian kalian melihat berita di infotainment kalau tikus teman kalian telah ditemukan dalam keadaan menjadi bangkai. Berita infotainment layak dipercaya—dan kalian pun mempercayainya.
Di malam yang lain, giliran tikus pacarmu yang keluyuran sendirian karena kau lupa mengajaknya kencan di malam Minggu. Sambil bersenandung sendu karena merindukanmu, tikus pacarmu melihat seiris daging tergantung-gantung menggodanya dalam sebuah kotak besi yang terbuka. Entah karena lapar atau karena ngidam, tikus pacarmu langsung masuk ke dalam kotak besi dan mendekati potongan daging yang diinginkannya. Begitu bibirnya yang seksi menyentuh daging itu, pintu besi di belakangnya tertutup—dan dia terkejut.
Sekali lagi masyarakat tikus dalam komunitas kalian mendengar jerit-cicit permintaan tolong dari sesama tikus, dan sekali lagi serombongan tikus mendatangi arah jeritan itu. Kau dan teman-temanmu kemudian mendapati tikus pacarmu tengah kebingungan dalam kurungan dengan wajah begitu nelangsa. Sekali lagi kalian menghadapi malam yang panjang, bersama kenyataan yang membingungkan.
“Oh, honey, kenapa kau bisa berada di dalam situ?” Kau bersimpuh di samping kurungan dan berbisik dengan bingung pada tikus pacarmu.
“Aku tidak tahu!” jawab tikus pacarmu dengan frustrasi. “Aku tadi cuma jalan-jalan sendirian ke sini, nyari hiburan--karena kau terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri hingga melupakan aku--lalu aku melihat ada daging kecil di sini. Jadi aku kemari, dan tiba-tiba pintu ini tertutup dan terkunci seperti ini! Oh, seharusnya kau tidak menelantarkan aku!”
“Aku tidak menelantarkanmu!” Kau menjawab dengan defensif.
“Ya, kau menelantarkanku!” Tikus pacarmu menjawab dengan sama defensifnya.
Lalu seekor tikus yang tampak bijak berkata dengan gaya sesosok filsuf yang telah memahami rahasia kehidupan, “Berdasarkan pengetahuan yang telah mencerahkanku,” katanya perlahan-lahan, “kurungan yang sekarang mengurungmu itu kurungan jebakan.”
Kau menjerit dengan frustrasi, “Aku juga tahu, sialan! Semua juga tahu kalau itu kurungan jebakan—karena pacarku sekarang terjebak di sana!”
Dan di malam itulah, untuk terakhir kalinya kau menyaksikan tikus pacarmu dalam keadaan hidup. Selang beberapa hari kemudian, infotainment di dunia tikus mengabarkan bahwa tikus seksi itu telah ditemukan dalam keadaan menjadi bangkai. Sekali lagi infotainment menunjukkan kredibilitasnya sebagai penyampai kisah yang mengharu-biru, dan kau pun bercucuran air mata menyaksikan berita itu.
....
....
Sampai di sini, sebaiknya saya cukupkan kisah ini—karena kalau dilanjutkan, lama-lama bisa menyerupai novel fabel. Seperti yang saya katakan di atas, saya bertanya-tanya dalam hati setiap kali mendapati satu tikus lagi terjebak dan terperangkap dalam kurungan yang saya siapkan. Yang saya pikirkan dan tanyakan, kenapa selalu saja ada tikus yang terperangkap masuk ke dalam kurungan itu…? Setiap malam ada tikus yang terjebak—dan mati—kenapa tikus-tikus lain tidak belajar dari pengalaman itu…?
Oke, mungkin kau ingin berkata kalau binatang—tikus—tidak memiliki pikiran. Itu benar—tetapi binatang dikaruniai otak, termasuk tikus. Fakta bahwa seekor tikus dapat menemukan makanan yang tergantung di dalam kegelapan kurungan, menunjukkan dengan jelas bahwa tikus dapat menggunakan otaknya. Tetapi, kenapa dia tidak menggunakan otak yang sama dalam hal belajar dari pengalaman sesamanya—itulah yang saya pikirkan dan yang membuat saya bertanya-tanya.
Nah, andaikan kau seekor, eh, seorang manusia….
Setiap kali mendapati seekor tikus yang terperangkap dalam kurungan jebakan itu, saya berpikir dan bertanya-tanya—namun tetap saja tidak yakin dengan jawabannya. Yang saya pikirkan dan tanyakan, kenapa setiap malam selalu saja ada tikus baru yang terjebak dalam perangkap itu, padahal malam kemarin tikus-tikus itu sudah melihat dan menyaksikan kenyataan tersebut…?
....
....
Bayangkan kau seekor tikus yang biasa keluyuran di rumah saya, dan kau punya teman-teman sesama tikus, serta berpacaran dengan seekor tikus yang seksi. Suatu malam, seekor sohibmu sesama tikus berjalan-jalan sendirian mencari makanan. Tanpa sengaja dia mendapati makanan lezat yang tergantung-gantung manja di dalam sebuah kurungan besi yang tampak aneh. Karena lapar, tikus sohibmu itu pun masuk ke dalam kurungan itu, dan meraih makanan di dalamnya. Saat moncongnya menyentuh makanan itu, pintu kurungan di belakangnya secara otomatis menutup, dan… tikus sohibmu itu pun terjebak di dalamnya tanpa bisa keluar!
Tikus sohibmu mencicit dan berteriak-teriak dalam bahasa tikus—meminta tolong kepada siapa pun sesama tikus untuk dapat mengeluarkannya dari jebakan yang sekarang mengurungnya. Kau dan teman-temanmu sesama tikus mendengar panggilan teriakan minta tolong itu, dan kalian pun mendapati tikus sohib kalian tengah kebingungan di dalam kurungan. Lebih bingung lagi, kalian semua tak tahu bagaimana cara mengeluarkan tikus itu dari dalam kurungan.
“Apa yang terjadi…?” Kau bertanya pada tikus yang ada dalam kurungan itu. “Kenapa kau bisa berada di dalam situ?”
Tikus temanmu menjawab dengan bingung, “Aku tidak tahu, pal. Tadi aku cuma ingin makan makanan yang ada di sini, tapi… well, pintu di sebelah sini tiba-tiba menutup begitu aku menyentuh makanan ini.”
“Kok bisa?” tanyamu dengan bingung campur takjub.
“Yeah, mana aku tahu?!” tikus temanmu menjawab dengan frustrasi. “Cepat, carikan jalan agar aku bisa keluar dari kurungan sialan ini!”
Kemudian, seekor tikus yang cukup bijak di antara kalian berkata perlahan-lahan layaknya filsuf yang telah kenyang makan asam garam dunia, “Hmm… sepertinya kurungan yang mengurungmu ini kurungan jebakan.”
Tikus dalam kurungan mencicit keras-keras, “Aku tahu ini kurungan apa, goblok! Semua juga tahu kalau ini kurungan jebakan—karena aku sudah terjebak di sini!”
Sampai semalaman kalian tetap tak menemukan cara untuk dapat mengeluarkan tikus sohib kalian dari dalam kurungan itu—dan sejak itulah kalian kehilangan seorang teman sesama tikus. Malam itu menjadi malam terakhir bagi kalian melihatnya, karena sejak saat itu si tikus yang malang tersebut tak pernah terlihat lagi. Sampai kemudian kalian melihat berita di infotainment kalau tikus teman kalian telah ditemukan dalam keadaan menjadi bangkai. Berita infotainment layak dipercaya—dan kalian pun mempercayainya.
Di malam yang lain, giliran tikus pacarmu yang keluyuran sendirian karena kau lupa mengajaknya kencan di malam Minggu. Sambil bersenandung sendu karena merindukanmu, tikus pacarmu melihat seiris daging tergantung-gantung menggodanya dalam sebuah kotak besi yang terbuka. Entah karena lapar atau karena ngidam, tikus pacarmu langsung masuk ke dalam kotak besi dan mendekati potongan daging yang diinginkannya. Begitu bibirnya yang seksi menyentuh daging itu, pintu besi di belakangnya tertutup—dan dia terkejut.
Sekali lagi masyarakat tikus dalam komunitas kalian mendengar jerit-cicit permintaan tolong dari sesama tikus, dan sekali lagi serombongan tikus mendatangi arah jeritan itu. Kau dan teman-temanmu kemudian mendapati tikus pacarmu tengah kebingungan dalam kurungan dengan wajah begitu nelangsa. Sekali lagi kalian menghadapi malam yang panjang, bersama kenyataan yang membingungkan.
“Oh, honey, kenapa kau bisa berada di dalam situ?” Kau bersimpuh di samping kurungan dan berbisik dengan bingung pada tikus pacarmu.
“Aku tidak tahu!” jawab tikus pacarmu dengan frustrasi. “Aku tadi cuma jalan-jalan sendirian ke sini, nyari hiburan--karena kau terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri hingga melupakan aku--lalu aku melihat ada daging kecil di sini. Jadi aku kemari, dan tiba-tiba pintu ini tertutup dan terkunci seperti ini! Oh, seharusnya kau tidak menelantarkan aku!”
“Aku tidak menelantarkanmu!” Kau menjawab dengan defensif.
“Ya, kau menelantarkanku!” Tikus pacarmu menjawab dengan sama defensifnya.
Lalu seekor tikus yang tampak bijak berkata dengan gaya sesosok filsuf yang telah memahami rahasia kehidupan, “Berdasarkan pengetahuan yang telah mencerahkanku,” katanya perlahan-lahan, “kurungan yang sekarang mengurungmu itu kurungan jebakan.”
Kau menjerit dengan frustrasi, “Aku juga tahu, sialan! Semua juga tahu kalau itu kurungan jebakan—karena pacarku sekarang terjebak di sana!”
Dan di malam itulah, untuk terakhir kalinya kau menyaksikan tikus pacarmu dalam keadaan hidup. Selang beberapa hari kemudian, infotainment di dunia tikus mengabarkan bahwa tikus seksi itu telah ditemukan dalam keadaan menjadi bangkai. Sekali lagi infotainment menunjukkan kredibilitasnya sebagai penyampai kisah yang mengharu-biru, dan kau pun bercucuran air mata menyaksikan berita itu.
....
....
Sampai di sini, sebaiknya saya cukupkan kisah ini—karena kalau dilanjutkan, lama-lama bisa menyerupai novel fabel. Seperti yang saya katakan di atas, saya bertanya-tanya dalam hati setiap kali mendapati satu tikus lagi terjebak dan terperangkap dalam kurungan yang saya siapkan. Yang saya pikirkan dan tanyakan, kenapa selalu saja ada tikus yang terperangkap masuk ke dalam kurungan itu…? Setiap malam ada tikus yang terjebak—dan mati—kenapa tikus-tikus lain tidak belajar dari pengalaman itu…?
Oke, mungkin kau ingin berkata kalau binatang—tikus—tidak memiliki pikiran. Itu benar—tetapi binatang dikaruniai otak, termasuk tikus. Fakta bahwa seekor tikus dapat menemukan makanan yang tergantung di dalam kegelapan kurungan, menunjukkan dengan jelas bahwa tikus dapat menggunakan otaknya. Tetapi, kenapa dia tidak menggunakan otak yang sama dalam hal belajar dari pengalaman sesamanya—itulah yang saya pikirkan dan yang membuat saya bertanya-tanya.
Nah, andaikan kau seekor, eh, seorang manusia….