Jumat, 20 Desember 2024

Terperangkap Sistem Nilai Kuno

Sambil nunggu udud habis.

Ada cukup banyak istilah Jawa yang sampai sekarang belum aku tahu padanannya dalam bahasa Indonesia. Di antaranya “kénger”. Kalau kita bangun tidur dan merasakan leher kaku gara-gara salah posisi waktu tidur, itu disebut “kénger”. Apa padanan bahasa Indonesia untuk istilah itu?

Selain “kenger”, orang Jawa juga punya istilah lain yang sampai sekarang belum kutemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu “mentas”. Jika diterjemahkan, “mentas” adalah “naik ke permukaan”. Dalam kehidupan orang Jawa, istilah itu punya makna denotatif dan konotatif.

Kalau anak-anak terlalu lama keasyikan bermain di kolam renang, misalnya, orang tua di Jawa biasanya mengingatkan, “Wis, ayo mentas!” Maksudnya, “Sudah, ayo keluar [dari kolam renang, biar kamu tidak menggigil kedinginan].” Itu penggunaan istilah “mentas” dalam makna denotatif.

Istilah “mentas” itu kadang juga digunakan secara konotatif, misalnya ada ibu-ibu berkata pada anak tetangga atau familinya yang masih lajang, “Kapan mentas?” 

Pertanyaan itu memiliki maksud, “Kapan kamu akan menikah?” Jadi “mentas” di situ dipakai sebagai konotasi “menikah”.

“Mentas”—naik ke permukaan—yang digunakan sebagai pengganti istilah “menikah”, menunjukkan bahwa sebagian orang (dalam konteks ini orang Jawa) masih menganggap menikah adalah satu tahap yang menempatkan seseorang lebih tinggi daripada orang yang tidak/belum menikah.

Dan kalau diperhatikan, sepertinya memang begitu. Di lingkungan kita, sepertinya orang yang menikah (berkeluarga) dianggap atau bahkan dinilai lebih tinggi daripada orang yang lajang (tidak/belum menikah). Satu lagi warisan zaman purba yang masih dilanggengkan hingga kini.

Kita, kalau dipikir-pikir, hidup dengan terperangkap sistem nilai kuno yang mestinya sudah dihapus dan dihilangkan, tapi terus dipelihara dan dilestarikan. Ini menjadikan kita seperti mengalami “kénger”—tidur (hidup) pada posisi yang salah, hingga leher (kesadaran) terasa sakit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Agustus 2021.

Beban Terberat Pacaran

Beban terberat pacaran—setidaknya bagiku—bukan uang, bukan kesetiaan, bukan tanggung jawab (aku punya semua itu)... tapi waktu. Aku tidak punya waktu! Sementara pacaran menuntut banyak waktu. Dari waktu nilpon, chatting, sampai ketemuan, dan lain-lain.

Cewek tuh ya—tolong maafkan kalau ini kasar—waktu belum jadian, sok jaimnya selangit. Tapi kalau sudah jadian, penginnya ketemuuuuuuuuuu terus. Bahkan sudah ketemuan lama saja, sering kali tidak cukup. Cewek masih butuh diperhatikan, ditilpon, dan lain-lain.

Karenanya, menurutku, aktivitas pacaran hanya cocok untuk orang-orang selo, yang punya banyak waktu luang, lebih bagus lagi kalau pengangguran! Orang-orang sibuk yang punya banyak kerjaan biasanya kewalahan kalau pacaran, karena sulit membagi waktu yang terbatas.

Terkait hubungan dengan perempuan, aku percaya bahwa setiap pria menghadapi dua pilihan... dan dia harus memilih! Pertama, mengejar impiannya. Atau kedua, menjalin hubungan dengan perempuan. Mungkin ada yang bisa mendapatkan keduanya, tapi itu satu banding sejuta.

Semakin tinggi impian/ambisi seorang pria, semakin sedikit waktu yang dimilikinya. Dan itu artinya, sekali lagi, dia harus memilih. And then, inilah hasilnya: Jika pria mengejar impiannya, perempuan akan mengikuti. Tapi jika pria mengejar perempuan, impiannya akan hilang.

Jadi, di sisi lain, perempuan juga menghadapi dua pilihan. Pilihan pertama, pria yang punya banyak waktu luang hingga bisa terus asyik pacaran, tapi tidak punya masa depan... atau pilihan kedua, pria yang jarang punya waktu luang untuk pacaran tapi punya masa depan.

Mungkin memang ada pria yang punya banyak waktu luang untuk pacaran, sekaligus punya masa depan gemilang. Tapi, realistis sajalah, itu satu banding sejuta! Kamu benar-benar beruntung kalau bisa seperti itu, atau punya pacar yang seperti itu... jika bukan utopia. 

Politik dan Fondasi

Ingin membicarakan politik bersama mbakyuku. Apppeeeuuuuuhh...

Omong-omong soal politik, aku jadi ingat istilah lain; pondasi. Siapa sebenarnya yang pertama kali menulis “pondasi” dalam artikel/berita, lalu ditiru banyak orang lain hingga menjadi kekeliruan massal? Merujuk KBBI, yang benar adalah “fondasi”, bukan “pondasi”—pakai f, bukan p.

Dalam beberapa tahun terakhir, aku telah membaca/menemukan tak terhitung banyaknya artikel/berita yang di dalamnya termuat kata “pondasi”, ketika si penulis seharusnya menggunakan kata “fondasi”. Dan selama itu pula, aku mikir, apa memang penulisan kata itu sudah berubah?

Ternyata tidak, karena yang benar tetap “fondasi”. Mengutip KBBI, beginilah deskripsi formalnya; fondasi/fon•da•si/ n dasar bangunan yang kuat, biasanya (terdapat) di bawah permukaan tanah tempat bangunan itu didirikan; fundamen. 

(Tambahan; fundamental, bukan pundamental).

Sebenarnya aku tahu media apa yang pertama kali keliru menulis “pondasi”, hingga ditiru media-media lain sampai sekarang, tapi gak enak kalau aku sebutkan di sini. Sekadar saran, kalau ada pekerja media yang kebetulan orang Sunda, ingatkan dia untuk patuh pada bahasa Indonesia.

Ini tidak bermaksud rasis lho, ya. Cuma, seperti kita tahu, orang Sunda punya semacam kebiasaan menggunakan P untuk kata yang seharusnya F. Bisa jadi, penulisan “pondasi” itu berawal dari orang Sunda yang, karena terbiasa menggunakan P, akhirnya mengubah “fondasi” jadi “pondasi”.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Agustus 2021.

Tidak Doyan Suatu Makanan Itu Biasa

Ada orang yang suka nasi akas, pun ada orang yang suka nasi lembek. Manakah yang benar dan manakah yang salah? Tidak ada yang benar atau salah, wong itu selera, kok! Ini negara demokrasi. Jangankan beda selera nasi, beda pilihan presiden saja tidak apa-apa.

Orang tidak doyan suatu makanan, sering kali bukan karena kehendaknya, tapi karena “kondisinya memang begitu”. Contoh, ada orang tidak doyan durian. Bagi kita yang suka durian, orang itu pasti goblok, wong durian enak kok tidak doyan. Tapi dia benar-benar tidak doyan!

Kita tidak bisa memaksa orang yang tidak doyan durian agar doyan durian, karena dia tidak akan doyan. Jangankan memakannya, bahkan mencium bau durian saja bisa muntah. Begitu pula orang yang tidak doyan nasi lembek, atau orang yang tidak doyan nasi akas.

Ada orang, misalnya, suka nasi lembek, dan tidak doyan nasi akas. Apakah salah? Tentu saja tidak!

Begitu pun, aku tidak doyan nasi lembek, apalagi yang menggumpal. Apapun yang terjadi, aku tidak akan memakannya, karena memang tidak doyan. 

Orang tidak doyan suatu makanan itu bukan menghina makanan, tapi karena kondisi pada dirinya yang menyebabkan dia tidak doyan. Ada orang tidak doyan durian, tidak doyan susu, tidak doyan keju, tidak doyan pizza—mereka memang tidak doyan, bukan menghina makanan.

So, jika sewaktu-waktu kita mendapati siapa pun tidak doyan suatu makanan tertentu, tak perlu repot-repot menceramahi dia betapa enaknya makanan itu. Cukup maklumi saja, karena tidak doyan suatu makanan adalah hal alamiah yang banyak terjadi pada orang-orang di mana pun.

Ketinggalan Zaman

Layanan dengan nomor [telepon] ekstensi sebenarnya sudah ketinggalan zaman, selain tidak efektif dan berpotensi merugikan pengguna/pelanggan. Sayangnya, layanan semacam itu masih dipakai perusahaan dengan manajemen yang sama-sama ketinggalan zaman.

Meriang Parah

Seminggu ini meriang parah, dan sampai sekarang kayaknya belum ada tanda-tanda sembuh. Mau apa-apa bawaannya males banget. 

Barusan sudah bertekad untuk datang ke dokter besok, dan sekarang baru ingat kalau besok Minggu!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Juni 2021.

Memprihatinkan

Semua ini... memprihatinkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2021.

Tidur Siang

Memasuki waktu Indonesia bagian tidur siang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Juni 2021.

Berita Duka

Masuk Twitter, dan langsung disuguhi berita duka. Harmoko dan Rachmawati Soekarnoputri meninggal dunia. Turut berduka cita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Juli 2021.

Ala-ala

Oooh... ala-ala.

Selasa, 10 Desember 2024

Catatan Kaki untuk Catatan Tangan

Kayaknya aku perlu ngasih footnote untuk catatan ini: Neraka Keburu Membeku

Yang berpotensi bias kelas sebenarnya bukan cuma nasihat kesehatan. Tapi semua nasihat yang bersifat umum hampir bisa dipastikan bias kelas. Meski “kelas” yang dimaksud belum tentu kelas sosial.

Aku mengartikan “bias kelas” secara luas. Bukan cuma kelas sosial (kaya-miskin), tapi juga pada hal lain—misal kelas nalar. Anak SD dan anak kuliah tentu punya perbedaan nalar yang jauh. Jika kita memberi nasihat yang sama pada mereka, nasihat kita akan bias kelas (kelas nalar).

Legenda Mesir kuno, misalnya, punya cerita bahwa manusia pertama di dunia adalah “hasil muntahan” sesosok makhluk-entah-apa. Makhluk itu muntah, dan yang keluar adalah sepasang manusia yang kemudian menjadi orang-orang pertama di bumi, lalu mereka beranak pinak.

Sebagian orang mungkin bisa menerima kisah semacam itu, dan percaya memang begitulah asal usul manusia. Tapi tentu ada sebagian lain yang tidak bisa menerima kisah semacam itu, dan lebih percaya penjelasan lain yang lebih logis—misalnya. Itu contoh perbedaan nalar.

Karenanya, di dunia kesehatan, dokter biasanya tidak gegabah ketika mendiagnosis penyakit seseorang. Meski sama-sama sakit kepala, misalnya, diagnosisnya bisa berbeda, dan dokter akan memberi resep serta obat yang berbeda. Nasihat yang tepat untuk orang (masalah) yang tepat.

Omong-omong soal kesehatan, aku pernah punya teman yang malang. Sebut saja namanya X. Si X ini dianggap sangat “mbeling”—bahkan orang tuanya pun ngomong begitu. Mereka sudah “lepas tangan” dengan Si X, karena, menurut mereka, “sudah tak bisa dinasihati”.

Selama bertahun-tahun, X mendapat aneka tuduhan dari masyarakatnya—tetangganya, saudara-saudaranya, sampai dari keluarganya sendiri. Ada yang bilang kalau X “dirasuki setan”. Ada yang menuduh X “kurang ibadah”. Ada pula yang menyebut X “korban salah pergaulan”, dll. 

Lalu, suatu hari, X kecelakaan di jalan—dia ditabrak mobil, ketika sedang menyeberang. Si penabrak bertanggung jawab, dan membawa X, yang waktu itu nyaris tak sadar, ke rumah sakit. Di rumah sakit, X menjalani pemeriksaan, khususnya pemeriksaan bagian kepala. 

Saat pemeriksaan itulah, “sesuatu yang tak biasa” ditemukan di kepala X. Singkat cerita, dokter menyarankan X melakukan operasi di bagian kepala. Waktu itu belum ada BPJS kesehatan, dan keluarga X menolak saran itu, karena tidak ada biaya. 

Untungnya, dan ini sungguh ajaib, waktu itu X kecelakaan di jalan, dan untungnya pula orang yang menabrak benar-benar baik. Meski “masalah di kepala X” bukan akibat kecelakaan, dia bersedia membiayai operasi itu—mungkin juga karena dilatari perasaan bersalah karena sudah menabrak X.

Singkat cerita, usai menjalani operasi, dan dokter telah membereskan masalah di kepalanya, X seperti “terlahir kembali”. Dia masih hidup, seperti semula, seperti biasa, tapi semua kesan “mbeling” yang ada pada dirinya benar-benar lenyap. Dia jadi orang baru yang berbeda.

Sampai saat ini, X masih hidup, dan hampir tidak pernah bikin masalah. Dia telah menikah dan punya seorang anak. Dia menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab, menjadi ayah yang menyayangi anaknya, dan menjalani kehidupan normal seperti umumnya orang-orang lain.

Jadi, sekian tahun lalu, ketika X masih remaja dan terkenal “sangat mbeling”, dia bukan “dirasuki setan”, bukan karena “kurang ibadah”, juga bukan karena “salah pergaulan”. Tapi karena ada gangguan pada kepalanya yang bersifat medis, yang tidak dipahami orang-orang awam.

Karenanya, hampir semua nasihat yang bersifat umum, meski tidak semuanya, biasanya akan bias. Entah bias kelas, bias nalar, sampai bias realitas. Tidak hanya nasihat kesehatan, tapi juga nasihat-nasihat lainnya, apalagi “nasihat-nasihat dangkal” yang biasa kita dengar sehari-hari.

Nasihat semacam, “Menikahlah, dan kau akan bahagia serta lancar rezeki,” itu bias kelas! Kalau kau menikah dengan konglomerat, dan kebetulan kalian saling cinta, kemungkinan besar kalian memang akan bahagia dan lancar rezeki. Tapi tentu tidak semua orang pasti begitu jika menikah.


Fuck fact: 

Nasihat sering kali cuma refleksi diri sendiri yang tidak kesampaian, lalu dibiaskan ke orang lain; sesuatu yang kita anggap [dan harapkan] benar, padahal belum tentu. Karenanya, “nasihat-nasihat umum” sering kali terdengar indah, bahkan ideal. You know that.

Cara Cepat Menghasilkan Uang Besar

Dalam suatu obrolan terkait bisnis, seseorang pernah berkata, “Cara cepat menghasilkan uang besar adalah membangun perusahaan rokok. Kita bikin merek rokok baru, lakukan kampanye besar-besaran hingga bisa penetrasi pasar. Lalu biarkan perusahaan rokok luar [negeri] melakukan akuisisi.”

Saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Tapi secara hitungan bisnis, itu memang masuk akal. Ada perusahaan-perusahaan rokok besar (dalam maupun luar negeri) yang tidak ingin mendapat saingan. Ketika di pasar ada pesaing baru—yang tentu skalanya lebih kecil—mereka akan ambil alih, akuisisi.

Perusahaan besar itu akan membeli perusahaan rokok saingannya, sering kali bukan untuk dikembangkan, tapi untuk dimatikan. Setelah akuisisi, mereka akan membubarkan perusahaan, memberi pesangon para karyawan, dan satu saingan potensial hilang dari pasar.

Apakah hal semacam itu pernah terjadi? Bukan hanya pernah, tapi sering! 

Jika kita flashback ke belakang, dari awal 2000-an, ada banyak sekali merek rokok baru yang muncul lalu terkenal. Kemudian, satu per satu rokok baru itu hilang begitu saja. Padahal rokok itu masih laris dan masih terkenal di kalangan para perokok. Kemana hilangnya rokok-rokok itu?

Jika kasus semacam itu hanya satu dua, mungkin kita bisa mengatakan penyebab hilangnya rokok-rokok baru itu karena masalah internal, apapun itu. Tapi karena kasus semacam itu terjadi puluhan kali, kemungkinan yang lebih rasional adalah akuisisi. Bukan untuk dikembangkan, tapi untuk dimatikan.

Tiba-tiba Ingat, Lalu Kangen

Waktu semester 3 di kampus dulu, aku mengalami kecelakaan di jalan. Tangan kanan patah, jadi gak bisa digunakan, termasuk untuk menulis. Kebetulan, waktu itu pas ujian semesteran. Akhirnya aku datangi dosen-dosen di kampus, untuk minta ujian lisan aja. Mereka setuju.

Setelah dijadwalkan, aku datangi dosen-dosenku satu per satu di kantor mereka masing-masing. Kami duduk berdua, dan aku siap mendapat ujian lisan. Bayanganku waktu itu, dosen akan menanyakan soal-soal yang ada di kertas ujian, dan aku akan menjawabnya secara lisan.

Ternyata bayanganku keliru. Saat aku menemui mereka satu per satu, para dosen itu tidak mengajukan soal apa pun. Kami malah ngobrol asyik aja, sampai sekitar 1 jam, habis itu “ujian” dianggap rampung. Dan belakangan aku dapat nilai A.

Kadang kangen masa-masa itu. 

Bertanya ‘Kapan Kawin?’ Lalu Mati

Di Kalsel, ada kasus pembunuhan sadis yang sekilas tampak rumit, tapi ternyata sangat sederhana. Seorang wanita yang baru menikah ditemukan tewas di kamarnya, tergeletak di kasur, dengan leher tergorok. Ada pisau di dekatnya, tapi bersih seperti habis dicuci.

Suami si wanita mengaku sedang di tempat kerja, ketika peristiwa itu terjadi, dan kondisi di TKP tampak seperti latar novel misteri ala Agatha Christie. Pengantin baru terbunuh dengan kejam, senjata ditemukan di dekatnya, tapi bersih tercuci. Dan ada terlalu banyak darah. 

Hanya butuh dua hari bagi polisi untuk menangkap pelakunya, sekaligus menguak misteri pembunuhan itu. Ternyata sangat sederhana. Pelaku pembunuhan itu adalah anak tetangga korban, pisau yang ditinggalkan di TKP bukan senjata yang digunakan untuk membunuh, dan motivasi pembunuhan itu juga sepele, yakni karena pelaku sakit hati akibat sering diejek korban. Pelaku adalah seorang pria berusia 24 tahun, sosok yang biasa menerima ejekan (yang kerap dianggap pertanyaan wajar) dari tetangganya, berbunyi, “Kapan kawin?”

Kita selalu bisa menormalisasi apa pun yang keluar dari mulut kita. Semisal bertanya “kapan kawin?” yang kita normalisasi sebagai “bentuk perhatian”. Tapi bagaimana kalau orang yang ditanya menganggap itu sebagai ejekan, dan menormalisasi dirinya saat balas dendam?

Segala macam pertanyaan yang diawali “kapan”—dalam apa pun bentuknya—tidak relevan diajukan kepada siapa pun, KECUALI kita terlibat di dalamnya. Misal Si A pacaran dengan Si B, dan Si A bertanya, “Kapan kita akan menikah?” Itu relevan, karena memang ada hubungan.

Tapi kalau status kita cuma teman, tetangga, apalagi orang asing, tidak relevan jika mengajukan pertanyaan “kapan kawin?”—kecuali kalau kamu memang akan menikah dengannya. 

Ada baiknya mengingat kasus sadis di Kalsel sebelum mengejek orang lain, apapun bentuknya.

Jujur Saja

Jujur saja, kalau kau menyatakan pasanganmu luar biasa, perkawinanmu bahagia, dan keluargamu sempurna... tapi ke mana-mana kau bertanya “kapan kawin?” pada siapa pun yang kautemui, maka aku akan tahu bahwa pasanganmu menjengkelkan, perkawinanmu menyedihkan, dan keluargamu berantakan.

Orang-orang lain mungkin bisa tertipu, tetapi... tolong tak usah repot-repot menipuku.

Nyicil Utang Seribu Triliun Per Tahun

Ekonom INDEF, Didik J. Rachbini, menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi mewariskan utang sangat besar, dan, sebagai konsekuensinya, Indonesia harus bayar utang Rp 1.000 triliun per tahun. 

Beban tanggungan Rp 1.000 triliun per tahun itu, masih menurut Didik J. Rachbini, adalah 1.500 persen dari anggaran untuk pendidikan. Jadi, negara kita lebih mementingkan mencicil utang, daripada mengurus pendidikan. Apa kabar anak-anak sekolah yang harus meniti jembatan di atas sungai?

Didik J. Rachbini juga mengatakan, peningkatan utang pemerintah yang naik signifikan mulai terjadi pada era Presiden Joko Widodo. Dan karenanya, Presiden Indonesia setelahnya akan tertimpa beban utang, sebab jumlah utang yang diwariskan sangat besar.

Narasi itu mungkin terdengar biasa, andai kita tidak mengingat “idealisme” Jokowi ketika belum menjabat Presiden Indonesia. Sebelum jadi presiden, Jokowi terang-terangan mengatakan “akan membubarkan Bank Dunia, IMF dan semacamnya”, karena dinilainya “merusak”.

Politik adalah soal sistem. Orang bisa ngoceh macam-macam sebelum masuk ke dalamnya. Saat orang masuk ke dalam sistem, mau tak mau dia harus ikut aturan mainnya. Dan aturan dalam sistem politik sekarang, menumpuk utang adalah salah satunya. Akan ke mana semua ini menuju?

Dalam konteks utang pemerintah, kebanyakan orang melakukan pembelaan dengan mengajukan argumentasi multiplier effect (dampak berganda). Secara teoritis, berdasarkan perspektif ilmu ekonomi, utang memang bisa menumbuhkan suatu bisnis, atau negara, agar tumbuh lebih besar.

Tetapi, yang perlu diingat, itu secara teoritis. Ketika teori diaplikasikan dalam praktik, siapa yang bisa menjamin prosesnya akan sama dengan teori? Dan kalau prosesnya belum tentu sama, siapa yang bisa menjamin hasilnya akan sesuai yang diteorikan (tumbuh lebih besar) sesuai ilmu ekonomi?

Mari gunakan analogi sederhana, agar urusan ini lebih mudah dipahami. Andaikan saya mau bikin startup, tapi terbentur masalah modal. Saya punya visi yang bagus mengenai suatu usaha, yang hampir bisa dipastikan akan sangat menguntungkan. Tapi, sekali lagi, modal saya terbatas.

Dalam kondisi seperti itu, saya mengajukan utang ke bank, dengan jaminan sertifikat rumah. Bank menggelontorkan pembiayaan, seperti yang saya inginkan. Sampai di sini, segala hal bisa terjadi, dan praktik yang saya lakukan bisa melenceng jauh dari teori yang tertulis dalam ilmu ekonomi.

Ketika pembiayaan dari bank sudah cair, saya bisa melakukan apa pun dengan uang yang kini ada di genggaman. Saya bisa menggunakan sepenuhnya untuk membesarkan startup seperti rencana semula, tapi saya juga bisa menggunakannya separo untuk bersenang-senang ala bocah hedon.

Di atas semua itu, saya juga dihadapkan pada fakta ini; apakah visi saya terkait startup tadi benar-benar menjanjikan, atau itu cuma khalayan? 

Oh, ya, dan jangan lupakan sertifikat rumah yang saya jadikan jaminan utang tadi. Suatu saat, jika saya kolaps, bank akan punya kuasa menyita rumah saya.

Dua Macam Masalah

Ada dua macam masalah. Yang terlihat dan yang tak terlihat. Yang terlihat tampak merisaukan. Yang tak terlihat lebih mengkhawatirkan.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Juni 2014.  

Birokrasi

Hidup mungkin akan jauh lebih mudah dijalani, kalau saja tidak ada sistem terkutuk bernama birokrasi.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 April 2019.

Twitter Kenapa?

Ini @Twitter kenapa? Kalau aku meng-quote tweet, atau tweet balasanku agak panjang (untuk thread), tombol "Tweet"-nya menghilang (ke bawah hingga tidak bisa diklik). Cuma aku yang mengalami, atau orang lain juga sama? 

Ngetwit jadi gak nyaman kalau gini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 29 Desember 2022.

Semremeng Asu

Pengapuran adalah huruf, ya?

Iya.

Kita semua adalah huruf, ya?

Iya.

....
....

Oh, oh.

Asu.

Petuah

Katanya petuah.

Minggu, 01 Desember 2024

Pengetahuan Sejati

Gordon Pennycook, peneliti psikologi misinformasi, University of Regina, Kanada, mengatakan, “Media sosial tidak memberi insentif terhadap kebenaran, ia memberi insentif pada keterlibatan.” 

Kalimat itu diucapkan Pennycook, setelah melakukan penelitian terkait penyebaran hoax atau berita palsu di berbagai media sosial. Dalam penelitian, Pennycook menemukan bahwa orang [sebenarnya] bisa mengenali mana berita palsu atau hoax. 

Yang mencengangkan, Pennycook juga mendapati bahwa, bahkan setelah mengetahui itu hoax atau berita palsu, orang tetap memiliki keinginan untuk menyebarkannya. Kenapa? Jawabannya tentu bukan untuk menyebarkan kebenaran, karena mereka tahu itu hoax.

Orang-orang punya kecenderungan menyebarkan apa saja di media sosial—termasuk hoax dan kebohongan—merujuk penelitian Pennycook, tidak bermaksud menyebarkan pengetahuan atau kebenaran, melainkan demi mendapat “keterlibatan” (retweet, share, love).

Itulah kenapa Pennycook sampai pada kesimpulan, “Media sosial tidak memberi insentif terhadap kebenaran, ia memberi insentif pada keterlibatan.” 

Karenanya, dari dulu—bahkan sebelum ada media sosial—aku percaya bahwa pengetahuan sejati ada dalam keheningan.

Orang Suci yang Tidak Suci-suci Amat

Dulu aku pernah mengira Mahatma Gandhi orang suci. Bahkan kata “Mahatma” pada namanya menyiratkan hal mulia. “Mahatma” berasal dari bahasa Sanskerta, yang berakar dari kata mahā dan ātman yang secara harfiah berarti "Jiwa Agung". 

Mohandas Karamchand Gandhi adalah orang pertama yang mendapat sebutan mulia semacam itu, hingga terkenal sebagai Mahatma Gandhi. Penyebutan “Mahatma” diberikan kepadanya sebagai penghargaan atas perjuangannya melawan penjajahan hingga kemuliaannya sebagai pribadi.

Jadi, awal mengenalnya dari buku-buku sejarah, aku sempat terpikir kalau dia memang orang suci, mengingat catatan sejarah benar-benar memuliakan sosoknya, hingga terkesan glorifikasi. Sampai belakangan aku tahu bagaimana dia sebenarnya... dan, yeah, dia manusia biasa.

Mahatma Gandhi tidak sesuci yang dipikirkan banyak orang. Di balik kehebatan dan kemuliaannya, dia memiliki sisi gelap yang bahkan sejarah pun enggan menulisnya.

Tapi kalau misal ada orang-orang yang menganggap Gandhi sebagai orang suci, ya silakan saja, wong itu hak pribadi. Asal tidak maksa-maksa orang lain agar ikut meyakini hal serupa, it’s okay.

Bukan Soal Apa yang di Luar, tapi Apa yang di Dalam

Dari dulu aku percaya, kalau suami istri bahagia, anak akan ikut bahagia. Sebaliknya, jika suami istri stres, tertekan, banyak beban pikiran, anak akan ikut menanggung dampaknya. Karena perlakuan orang tua kepada anak sering kali tergantung pada suasana hati dan pikiran orang tua.

Ketika seorang anak melakukan kenakalan atau kesalahan kecil—misal menumpahkan minuman—perlakuan yang akan diterimanya tergantung dari suasana hati dan kondisi pikiran orang tuanya. Ini bukan soal apakah orang tua tahu parenting atau tidak, tapi kondisi pikiran.

Bagi orang tua yang bahagia, kenakalan kecil anak bukanlah masalah. Tapi bagi orang tua yang sedang stres, tertekan, banyak beban pikiran, kenakalan atau kesalahan kecil anak akan dianggap masalah besar. Latar belakang itu yang membedakan sikap dan perlakuan mereka pada si anak.

Dalam contoh ekstrem, kalau kamu hidup bahagia, dan anakmu memecahkan guci seharga sepuluh juta, misalnya, mungkin kamu hanya akan marah sebentar, lalu menyadari kalau anakmu masih kecil. Guci pecah itu urusan sepele, toh kamu bisa menggantinya dengan guci yang lain.

Tapi kalau kamu hidup penuh tekanan, stres, banyak masalah, dikejar-kejar cicilan, dan anakmu memecahkan gelas yang harganya paling sepuluh ribu rupiah, kamu bisa ngamuk dan menganiaya anakmu habis-habisan. Anakmu jadi korban—bukan karena gelas pecah, tapi karena kondisimu.

Kenyataan dan kesadaran itulah yang membuatku bersumpah pada diri sendiri, aku tidak akan menikah—apalagi punya anak—sebelum bisa membahagiakan diriku sendiri.

Yang Benar-benar Terjadi

Kalau iman memang penting, jangan lupakan pula kesadaran untuk mau membuka mata dan hati, untuk menyaksikan serta mau menerima kebenaran terkait apa yang benar-benar terjadi.

Pejuang Selangkangan

Ada istilah aneh sekaligus konyol, yang hanya ada di Indonesia; "pejuang nikah muda". 

Daripada "memperjuangkan" diri dan orang-orang lain cepat kawin, mending memperjuangkan pendidikan yang lebih baik, atau memperjuangkan lingkungan agar jadi tempat yang nyaman dihuni bersama.

Daripada nikah muda, mending meruntuhkan peradaban.

"Pejuang nikah muda" itu menunjukkan sempitnya pikiran mereka, karena yang diurusi terus menerus cuma selangkangan. Oh, well, tentu saja dengan dalih ajaran agama dan segala macam. Tapi intinya sama saja; selangkangan!

Pejuang nikah muda = pejuang cepat kawin = ... Ya, kau tahu.

Jika memang yang menjadi concern adalah pernikahan, jauh lebih baik memperjuangkan kesadaran dan kematangan pikiran/mental sebelum menikah. Itu lebih baik dan lebih mulia, karena mengajak orang menikah secara bertanggung jawab, dengan persiapan yang benar-benar baik dan matang.

Sayangnya, para "pejuang nikah muda" itu menempatkan selangkangan di tempat teratas, karena "yang penting nikah aja dulu, urusan lain biar diurus belakangan."

Tentu saja itu "trik jualan", agar "perjuangan" mereka laku dan menarik banyak pengikut. Bukan begitu, para "pejuang"?

Dalam pikiranku, para "pejuang nikah muda" itu bukan memperjuangkan sesuatu agar lebih baik, tapi sedang menjual sesuatu dan berharap dagangannya laku. Karenanya, mereka tak peduli kalau perkawinanmu bubar di tengah jalan (akibat tidak ada persiapan), karena mereka cuma jualan.

Mereka juga menjual slogan tolol, "Daripada zina lebih baik nikah muda". Slogan itu dengan jelas menunjukkan seperti apa isi otak mereka. Kalau memang otakmu hanya berisi urusan selangkangan, silakan! Tapi jangan menyamaratakan semua orang punya otak sekotor isi otakmu!

Slogan "Daripada zina lebih baik nikah muda" itu mungkin berasal dari orang yang isi otaknya cuma selangkangan, lalu berpikir semua orang sekotor dirinya. Pola pikir semacam itu dengan jelas menunjukkan seperti apa isi pikiran penggagas dan "pejuang"nya. Ya jualan selangkangan!

Kenyataannya, selangkangan memang selalu laku dijual, apalagi dibungkus dengan embel-embel agama. Dan para penjualnya menyebut diri mereka sebagai "pejuang nikah muda". Benar-benar cara berjualan yang licik sekaligus menyesatkan! Dan anak-anak merekalah yang kelak menjadi korban!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3-4 Agustus 2019.

Bocah Udud

Netflix bikin film berjudul “Gadis Kretek”, yang [kalau aku tidak keliru] diadaptasi dari novel berjudul sama, karya Ratih Kumala. Aku jadi kepikiran untuk bikin novel serupa, agar sama difilmkan, mungkin judulnya “Bocah Udud”.

Lagi Kaget

Lagi kaget. Film terbaru Russell Crowe, The Exorcism, ratingnya cuma 4,4. Film terbaru Aaron Eckhart, Chief of Station, ratingnya cuma 4,7. Gara-gara rating serendah itu, aku gak nonton, padahal mereka dua aktor favoritku. Rating 5 aja udah sangat minimal untuk ukuran mereka.

Sepertinya mereka mengikuti “jejak” Bruce Willis. Makin berumur, kualitas filmnya makin turun. Begitu pula Van Damme, yang filmya makin “lucu”. Dan sebelum mereka ada Steven Seagal. Kayaknya, yang kualitas filmnya masih terjaga seiring usia aktor makin tua hanyalah Liam Neeson. Separah apapun, ratingnya masih 5 ke atas.

Mana yang Lebih Dulu Ada?

Mana yang lebih dulu ada di dunia? Moral, atau agama? Jawabannya tergantung pada kecenderungan cara kita berpikir.

Orang yang berpikir berdasarkan keyakinan, pasti akan menjawab agama lebih dulu lahir daripada moral, karena juga berkeyakinan manusia pertama adalah adalah Nabi Adam. Dan karena seorang nabi, Adam tentu beragama. Artinya, agama muncul bersama orang pertama di dunia.

Sementara orang yang berpikir berdasarkan pengetahuan, tentu akan menjawab moral lebih dulu lahir daripada agama. Sisanya tidak perlu dijelaskan.

Waba

Saya sedang membaca sesuatu, dan mendapati kata yang asing—“waba”. Saya tidak tahu apa itu waba. Dan meski sudah memikirkan cukup lama, dengan memperkirakan sambungan dengan kata sebelum dan setelahnya, saya tetap tidak paham apa itu waba.

Jadi, saya pun lalu menelepon penulisnya.

“Aku lagi baca tulisanmu,” ujar saya di telepon, “dan menemukan kata ‘waba’. Apakah mungkin maksudmu ‘wabah’?”

“Tidak,” dia menjawab, “maksudku memang waba.”

“Waba, huh?”

“Yeah, waba.”

Setelah selesai menelepon, saya melanjutkan membaca.

Dan saya berpikir, betapa hidup ini sungguh sia-sia.

Orang Baik dan Orang Jahat

Ada banyak kejahatan di dunia yang pelakunya tidak dapat ditangkap, karena tidak adanya bukti yang langsung terkait dengannya. Sering kali, penjahat berbahaya tidak seperti di film-film, yang tampak jahat dan bengis. Sebaliknya, mereka sering tampak lemah, santun, tipe “orang biasa”.

Ketika orang berangasan atau tampak jahat dan bengis diduga terkait suatu kejahatan, kita sangat mudah menuduhnya—“pasti dia pelakunya!” Tapi bagaimana jika suatu kejahatan mengarah pada orang yang tampak ramah, lemah lembut, jenis orang yang “tidak mungkin berbuat jahat”?

Persepsi kita telah lama dirusak oleh film mengenai orang jahat dan orang baik, hingga kita—tanpa sadar—sok tahu mana “orang baik” dan mana “orang jahat”. Kita sangat mudah menuduh orang yang “seperti anu” pasti baik, dan orang yang “seperti itu” pasti orang jahat. 

Faktanya, orang baik dan orang jahat sering kali tidak bisa diidentifikasi melalui penampakan, penampilan, atau wujud luar mereka. Tanyakan pada Densus 88, apakah para teroris yang mereka tangkap tampak seperti bajingan? Tidak! Para teroris itu justru tampak seperti orang baik.

Prentah

Oh... prentah.

Rabu, 20 November 2024

Malam Minggu Berkah

Intro: 

Ocehan ini adalah tanggapan pada ribut-ribut di Twitter sekian tahun lalu, saat ada orang yang di-bully banyak orang karena menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah. Aku menulis ocehan ini sambil ngobrol dengan beberapa teman yang kebetulan ketemu di tempat makan, jadi isinya mungkin kurang tertata atau kurang terfokus.

....
....

Aku tidak mendukung tindakan bullying itu, tentu saja. Tapi aku juga harus mengakui bahwa aku senang karena mendapati makin banyak orang menyadari hal ini. Bahwa kawin adalah urusan privat orang per orang; pilihan yang (seharusnya) tidak dirusuhi orang lain. #MalamMingguBerkah

Mungkin tweet perempuan itu dimaksudkan untuk bercanda (atau bisa jadi pula dia memang ingin cepat kawin). Tapi warga Twitter tampaknya telah sampai pada kesadaran bahwa "bercanda" menyuruh orang cepat kawin itu perbuatan yang tercela. Jadi dia pun di-bully. #MalamMingguBerkah

Ngoceh soal ini, membuatku ingat kejadian tempo hari. Di Twitter, tempo hari, ada seorang perempuan yang di-bully warga Twitter—hingga dia menghapus akunnya—gara-gara tweet yang bertendensi menyuruh orang cepat kawin. Kalian tentu tahu yang kumaksud. #MalamMingguBerkah

Mayoritas orang (khususnya di sekeliling kita, mungkin) masih menganggap bahwa setiap orang wajib menikah. Jangankan orang-orang yang masih "terbelakang", bahkan orang-orang modern yang aktif di media sosial pun banyak yang masih punya pikiran seperti itu. #MalamMingguBerkah

Orang-orang yang doyan menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin mungkin merasa dirinya hebat. Padahal, di mata kami (orang yang mereka suruh cepat kawin), mereka tampak menggelikan, tak berpendidikan, dan terbelakang. Ini mungkin kasar, tapi harus ada yang mengatakan.

Aku bertanya pada teman-temanku—yang saat ini sedang makan—apa yang ada dalam pikiran mereka tiap nemu orang yang menyuruh-nyuruh kawin. 

Jawaban mereka:

"Risih."

"Jijik."

"Kasihan."

"Tidak nyaman."

"Kok mereka (orang yang nyuruh-nyuruh kawin) tidak malu, ya?"

Menyuruh, menyindir, memprovokasi, atau bercanda dengan tendensi agar orang cepat kawin, itu perbuatan yang tidak etis (tak beretika)—khususnya jika dilakukan orang-orang yang menganggap diri modern seperti kita. Itu salah satu ciri orang-orang "terbelakang". #MalamMingguBerkah

Hidup di tengah masyarakat yang menganggap perkawinan sebagai satu-satunya "syarat menjadi manusia normal", membuat kami jadi seperti alien—atau teralienasi—karena sudah dianggap layak untuk menikah tapi masih lajang. Padahal perkawinan cuma pilihan. #MalamMingguBerkah

Ucapan seorang teman yang sepertinya patut di-quote:

"Yang kutakutkan dari mendekati perempuan, bukan jika ditolak, tapi jika diterima. Dan yang kutakutkan dari menjalin hubungan (dengan perempuan), bukan putus di tengah jalan, tapi jika sampai ke pernikahan." #MalamMingguBerkah

Biasanya, kita akan benar-benar tahu arti kehadiran teman, jika rata-rata teman kita sudah menikah dan sibuk dengan keluarga masing-masing, lalu kita menemukan teman(-teman) yang masih lajang. Itulah yang kualami. #MalamMingguBerkah

Tadi keluar rumah dengan maksud mau makan, sambil istirahat sejenak. Tapi gara-gara malam Minggu, sekarang ketemu teman-teman—yang sama-sama ambyar—dan kayaknya bakal sampai pagi. #MalamMingguBerkah


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2019.

Biasa Saja

Dalam percakapan suatu malam, seorang teman baik berkata, “Kalau kamu diminta mendeskripsikan dirimu dalam satu kata, apa kata itu?”

“Biasa,” saya menjawab.

Dia tersenyum. “Kalau dua kata?”

“Sangat biasa.”

Senyumnya makin lebar. “Kalau tiga kata?”

Saya ikut tersenyum. “Well... sangat biasa.”

Lalu kami menyulut rokok, dan melanjutkan percakapan.

....
....

Malam itu, tanpa diketahuinya, saya merasa lebih menjadi diri saya.

Penyakit Orang Kawin

Sebagian orang kawin atau telah menikah mengidap penyakit yang sama. Rata-rata mereka hidup susah, menyedihkan, tapi berharap orang lain mengikuti mereka agar juga hidup susah. 

Karenanya, mereka pun sangat hobi menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat kawin, dengan segala macam bujukan, ledekan, cemoohan, dan seribu satu cara lain. Intinya cuma satu; mereka berharap orang lain sama susah seperti mereka.

Sengsara kok ngajak-ngajak!

Lagi Stres

Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang masuk akal di dunia ini.

Kodok

Kodok?

....
....

*Nyulut rokok*

*Mikir*

....
....

Kodok?

....
....

*Isap rokok*

*Mikir serius*

....
....

Kodok?

....
....

*Mengerutkan kening*

....
....

Ternyata kodok.

....
....

*Ngikik*

*Isap rokok*

....
....

Ternyata kodok.

Ya ampun, ternyata kodok!

....
....

*Misuh-misuh*

Sometimes adalah Sometime

Oh, oh.

YTMBBJTBTJSJCDTG

Begitu.

Tidak Punya Waktu

Sebagai bocah, aku tidak punya waktu memikirkan pemilu dan tetek-bengeknya. Aku terlalu sibuk mengurusi hidupku dan segala masalahnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Rame

O, rame.

Kamis, 14 November 2024

15 Tahun Menulis Blog

Bagaimana cara agar konsisten melakukan sesuatu yang sama terus menerus? Jika pertanyaan itu diajukan kepada saya, jawabannya “senang melakukannya”. Jika kita menyenangi yang kita lakukan, kita akan mampu melakukan terus menerus, konsisten, tanpa henti. Setidaknya, itulah yang saya alami saat menulis di blog ini.

Saat catatan ini di-publish, blog ini berusia 15 tahun. Bukan waktu yang sebentar, tentu saja. Dan jika saya perhatikan, saya cukup konsisten melakukannya, dengan bukti tulisan yang selalu ada setiap bulan dan setiap tahun, meski kadang naik turun. Mengapa saya mampu melakukannya, sementara banyak blogger lain memilih berhenti dan menyerah?

Karena saya senang melakukannya.

Saya menyenangi yang saya lakukan. Jika saya menulis di blog dengan tujuan uang, sejak lama saya sudah menyerah, wong blog ini tidak menayangkan iklan atau apapun yang menghasilkan uang! Jika saya menulis di blog dengan tujuan popularitas, saya juga sudah berhenti sejak lama, karena bertahun-tahun ngeblog toh saya tetap bukan siapa-siapa. 

Jadi, saya ngeblog semata-mata karena senang melakukannya, dan memang ingin melakukannya. Dan kalau kita senang melakukan sesuatu, kita pasti tidak terpikir macam-macam, yang penting asyik melakukannya. Wong senang, kok!

Ada orang senang memancing, misalnya. Dia bisa seharian memegangi joran di pinggir sungai, tanpa merasa capek atau bosan. Malah ada yang sampai bela-belain mancing semalaman, tidak tidur, begadang sambil megang joran sampai tengah malam atau dini hari. Padahal belum tentu dapat ikan. Kalaupun dapat, belum tentu hasilnya memuaskan. Tapi kapan pun ada waktu luang, mereka melakukannya, dan terus melakukannya. Karena menyukai yang mereka lakukan.

Dalam hal ini, kesukaan saya kebetulan bukan mancing ikan. Tapi belajar. Saya senang mempelajari apa saja, khususnya belajar lewat buku atau bacaan. Hasil dari belajar bertahun-tahun tanpa henti adalah pengetahuan yang menumpuk dalam pikiran. Banyaknya pengetahuan mendorong saya terus aktif berpikir, berkontemplasi, dan kegiatan itu menghasilkan sesuatu yang saya sebut kristal kegelisahan.

Kristal kegelisahan, dalam perspektif saya, adalah pemikiran yang dihasilkan dari pengalaman hidup, yang bersatu dengan tumpukan pengetahuan dan wawasan yang kita pelajari. Saat seseorang memiliki kristal kegelisahan, dia pasti ingin “menumpahkannya”—karena tidak mungkin memendamnya terus menerus dalam pikiran. Dalam hal ini, saya memilih menulis sebagai sarana menumpahkan kegelisahan dalam pikiran. 

Menulis, bagi saya, adalah cara terbaik untuk mengeluarkan pemikiran tentang apapun, tanpa mengganggu siapa pun. Kalau saya mengeluarkan pemikiran pada teman, misalnya, bisa jadi dia bosan mendengarkannya. Tapi dengan menulis, saya hanya perlu menulis, mengeluarkan apapun yang ada dalam pikiran, dan tidak mengganggu siapa pun.

Dulu, sebelum internet digunakan masyarakat secara luas, saya hanya menuliskan pemikiran-pemikiran di buku tulis atau diary, yang saya baca sendiri. Tidak ada orang lain yang membaca, selain saya. Dan saya terus melakukannya, karena memang senang melakukannya.

Lalu internet dikenal masyarakat luas, dan lahir blog. Banyak orang menganggap blog sebagai “diary online”, yang memungkinkan siapa pun menulis di blog sebagaimana menulis di buku diary. Bedanya, kalau di blog, orang lain bisa ikut membaca tulisan kita. Sebagian penulis blog bahkan membuka kolom komentar, sehingga pembaca bisa ikut mengomentari tulisannya di blog.

Saya adalah satu di antara ribuan pengguna internet di Indonesia yang ikut membuat blog. Dan sama seperti para penulis blog yang lain, saya juga menuliskan hal-hal keseharian, serta hal-hal yang saya pikirkan. Bisa dibilang sama seperti ketika saya menulis di buku diary, namun kali ini orang-orang lain—lewat sarana internet—bisa ikut membaca.

Sejak awal bikin blog ini, saya hanya terpikir untuk “memindahkan” catatan diary saya ke internet. Jadi, sejak awal pula, saya tidak terobsesi dengan popularitas atau semacamnya. Pikir saya, kalau ada orang lain yang ikut membaca tulisan saya di blog, ya monggo. Kalau tidak ada yang membaca, ya tidak apa-apa, wong saya cuma melakukan yang ingin saya lakukan. 

Dan “melakukan yang ingin saya lakukan” itu belakangan terus berlangsung sampai lima belas tahun. Saya sendiri agak kaget, sebenarnya. Kok tahu-tahu sudah 15 tahun. Tidak terasa. Mungkin itulah cinta. Kita hanya ingin melakukan, dan terus melakukan, karena memang menyukai yang kita lakukan. 

Ke depan, saya akan terus mengisi blog ini sebagaimana dulu saya rutin menulis diary. Entah sampai kapan, saya tidak tahu. Yang jelas, prinsip saya terkait blog ini tidak akan berubah; ada yang ikut baca ya silakan, tidak ada yang membaca ya tidak apa-apa. 

Minggu, 10 November 2024

Kemampuan Orang-orang Kuno

Ada banyak kemampuan manusia yang sangat penting, tapi hilang, karena tak pernah digunakan. Manusia yang hidup saat ini, sebenarnya, jauh berbeda dengan manusia yang hidup ribuan tahun lalu. Ada banyak kemampuan orang kuno yang sudah tidak dimiliki orang modern.

Contoh paling sederhana; orang-orang di zaman kuno tidak dimanjakan kendaraan bermesin, lift, atau semacamnya. Mau tidak mau, mereka menggunakan kaki, dan itu menjadikan tubuh mereka jauh lebih sehat sekaligus kuat, dibanding rata-rata orang modern seperti kita.

Jika contoh itu diteruskan, pada akhirnya kita akan masuk pada bagian-bagian penting lain pada diri manusia, dari kemampuan insting sampai telepati. Tapi kemampuan-kemampuan itu sudah hilang, bersama peradaban kuno yang runtuh, dan orang-orangnya yang musnah.

Belakangan, sebagian orang—ilmuwan—berpikir, bagaimana jika kita “hidupkan” kembali kemampuan-kemampuan orang kuno itu di zaman sekarang? Caranya tentu tidak bisa alami, mengingat kehidupan modern yang sudah jauh berbeda dengan kehidupan kuno. 

Berdasarkan pemikiran itu, mereka lalu merancang pelatihan yang khusus ditujukan untuk membentuk seseorang agar memiliki kemampuan seperti orang-orang kuno, meski hidup di zaman modern. Formulanya sederhana; tempatkan mereka pada kondisi mengancam/berbahaya.

Uraian ini bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9452. Tapi mari gunakan contoh yang bisa kita pahami bersama, karena diilustrasikan lewat film yang bisa ditonton siapa pun.

Bagaimana Jason Bourne—dalam Bourne Identity—bisa tahu bahwa 100 meter di depannya akan ada jalan menurun, padahal dia belum pernah ada di sana? Jawabannya sederhana; insting. Itu kemampuan hebat orang-orang kuno yang tidak dimiliki orang modern.

Orang-orang kuno memiliki insting sangat hebat, khususnya untuk bertahan hidup, karena kehidupan masih primitif, penuh ancaman dan bahaya. Belakangan, ketika dunia makin modern, dan ancaman serta bahaya terus menurun, kemampuan (insting) itu perlahan hilang.

Karenanya, dalam pelatihan—yang dirancang para ilmuwan tadi—seseorang harus ditempatkan pada bahaya dan ancaman terus menerus, agar kemampuan insting alaminya muncul. Dan itu ilmiah. Saat dihadapkan pada ancaman dan bahaya, insting akan terasah.

Tetapi, seperti yang disebut tadi, kemampuan hebat terkait insting tidak bisa ditumbuhkan secara alami, karena kehidupan modern tidak mendukung kemampuan spesial itu. Karenanya, harus ada “simulasi” yang benar-benar menempatkan seseorang dalam bahaya.

Dalam kisah Jason Bourne, pelatihan yang dijalaninya, di antaranya, tidak tidur 7 hari 7 malam (di dunia nyata mungkin 3 hari 3 malam), dan selama waktu-waktu itu dia terus dihadapkan pada berbagai ancaman dan bahaya yang benar-benar bisa membunuhnya. Hanya ada dua pilihan; bertahan hidup, atau mati.

Pelatihan mengerikan itu disebut “tangki” (benar-benar ada di dunia nyata, tapi disangkal/dirahasiakan), merujuk pada tangki berisi air yang digunakan untuk membuat subjek terus terjaga. Ketika si subjek mulai kelelahan dan hampir tertidur atau pingsan, instruktur akan membenamkan kepalanya ke dalam air, hingga kembali terjaga.

Di bawah tekanan semacam itu, mau tak mau, secara “alamiah”, insting Jason Bourne akan terasah... dan jadilah dia sosok hebat yang kemudian kita saksikan dalam film. Tetapi, karena kehebatannya tidak tumbuh alami, ada efek samping; dia sering menderita sakit kepala.

Melewati Kesakitan

Di antara Batang-Semarang, ada cukup banyak kelab malam, bar, dan tempat karaoke. Aku pernah ke salah satu kelab di sana; bukan untuk kelabing, tapi karena diundang pemiliknya. Si pemilik kelab itu punya suatu proyek, dan mengundangku ke sana untuk membicarakannya.

Karena urusan itu, aku pun beberapa kali datang ke sana, sengaja malam hari sambil cuci mata. Suatu malam, kami berbicara di ruang privat; si pemilik kelab, aku, dan satu pria yang waktu itu belum aku kenal. Ruangan itu kedap suara, jadi kami bisa berbicara dengan nyaman.

Pria asing itu teman si pemilik kelab, dan punya kemampuan menakjubkan. Setelah kami membicarakan hal-hal penting, dan mulai mengobrol hal-hal ringan, pria asing itu dengan ramah menyentuh tanganku. Selama dia menyentuh tanganku, dia seperti “mengisap” semua hal tentangku.

Waktu itu kami baru ketemu, tidak saling kenal, dan dia sama sekali tidak tahu siapa aku. Sebenarnya, si pemilik kelab yang mengundangku pun tidak mengenalku. Dia hanya mendapat namaku dari seseorang. Tapi begitu pria asing itu menyentuhku, dia tahu semua hal tentangku.

Jadi, sambil menyentuh tanganku, waktu itu, dia bisa tahu siapa aku, bahkan bisa menceritakan bagaimana kehidupanku, seperti apa kepribadianku, bagaimana sikapku menghadapi aneka hal yang terjadi, sampai hal-hal penting yang ada dalam pikiranku. 

Dan aku tercengang.

Aku mencoba “mengetes” dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu, dan dia menjawab sesuai yang ada dalam pikiranku. Diam-diam aku berpikir, pria asing itu sengaja disiapkan di sana untuk “menguji” apakah aku orang yang tepat untuk bekerja sama dengan pemilik kelab.

Sejak itu, kalau aku ke sana, kami sering mengobrol, dan dia teman bercakap yang menyenangkan. Aku bertanya, bagaimana dia bisa memiliki kemampuannya yang luar biasa, tapi dia seperti keberatan menjelaskannya. Aku memaklumi dan menghargai sikapnya atas hal itu.

Orang-orang yang memiliki kemampuan menakjubkan, dalam apa pun bentuknya, biasanya pernah melewati “kesakitan”, dan ada sebagian dari mereka yang tidak ingin membahasnya dengan orang lain. Karenanya, ketika dia tidak mau menceritakan, aku pun menghargai pilihannya.

Satu-satunya Cara Melawan Iblis

Jika diminta memilih hidup normal—menikah, punya keluarga, berketurunan, dan terus menua lalu mati—atau hidup abadi sampai ribuan tahun, tapi tak pernah menikah dan tak berkeluarga hingga tak punya keturunan... aku memilih yang kedua. Itu satu-satunya cara mengalahkan evolusi.

Orang awam kadang berpikir, dan dengan innocent mengatakan, “Kalau umurmu sangat panjang, kamu akan kesepian. Karena teman-temanmu sudah mati, kamu masih hidup. Orang-orang yang kamu kenal sudah mati, kamu masih hidup. Pasti tidak menyenangkan hidup seperti itu.”

Itu pikiran cemen khas orang awam. Kalau kamu memiliki keabadian yang memungkinkanmu hidup ribuan tahun, kamu sudah tidak lagi berpikir apakah punya teman atau tidak, tak lagi berpikir apakah ada orang yang mengenalmu atau tidak. Pikiranmu sudah jauh melampaui semua itu.

Bayangkan kamu hidup sejak ribuan tahun lalu, dan akan tetap hidup sampai ribuan tahun mendatang. Kamu akan punya waktu belajar yang sangat panjang, dan evolusi tidak bisa membunuhmu. Dan itulah satu-satunya cara melawan iblis bernama evolusi.

Bocah Mbuh

Aku bertanya pada seorang bocah, “Kamu tahu siapa aku?”

Bocah itu menjawab, “Tidak.”

“Aneh sekali, karena kupikir semua orang tahu siapa aku.”

....
....

Di lain waktu, aku bertemu bocah lain, dan bertanya, “Kamu tahu siapa aku?”

“Tentu saja aku tahu!” jawab bocah itu. “Semua orang tahu siapa kamu!”

“Aneh sekali, karena aku bahkan tidak tahu siapa aku.”

Manusia dan Sistem

Ketika kehidupan rusak, siapakah yang patut disalahkan? Manusia, atau sistem yang memerangkap manusia? Perdebatannya bisa sepanjang “telur dan ayam lebih dulu mana?”. Kabar baiknya, sekarang kita sudah tahu jawabannya, bahwa ayam lebih dulu ada sebelum munculnya telur.

Terkait manusia dan sistem, perbandingannya bisa seperti ayam dan telur. Mula-mula, ayam ada, lalu memproduksi telur. Ketika dierami, telur menetas menjadi anak ayam, dan begitu seterusnya. Manakah yang mengendalikan? Ayam atau telur? Jawabannya kompleks, dan bisa keduanya.

Tuntutan Skenario

Dalam film Romeo and Juliet, Claire Danes dan Leonardo DiCaprio (dua pemeran utamanya) tidak akur di lokasi syuting. Mereka hanya bersama dan bercakap-cakap [bahkan tampak mesra] selama proses syuting, karena tuntutan skenario, dan setelah itu saling menghindari. 

Lucy Liu dan Bill Murray terlibat syuting bersama dalam film Charlie's Angels, dan mereka saling tidak menyukai, bahkan sampai tahap bermusuhan. Belakangan, Bill Murray bahkan sangat senang ketika dia digantikan Bernie Mac di film kedua... demi tidak bertemu Lucy Liu.

Serial X-Files, yang sangat terkenal, dibintangi dua sosok yang pasti telah dihafal para penontonnya; Gillian Anderson dan David Duchovny. Di film, mereka tampak akrab dan baik-baik saja, tapi sebenarnya saling membenci. Di luar urusan syuting, mereka saling menghindari.

Anthony Daniels dan Kenny Baker terlibat dalam syuting Star Wars: A New Hope, tapi keduanya saling menghindari. Saat break syuting, mereka saling menjauh, dan tidak pernah terlihat saling menyapa, apalagi lebih dari itu. Permusuhan mereka bahkan populer di Hollywood.

Akhirnya, dalam waralaba Fast & Furious, Vin Diesel dan Dwayne Johnson juga saling tidak menyukai. Ini penjelasan selengkapnya: Mungkinkah Ada Orang Tak Disukai Justru karena Baik?

Ndilalah

"Ndilalah" adalah istilah Jawa yang sarat pesan. Dalam setiap "ndilalah" biasanya memang ada sesuatu yang bisa kita temukan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Topeng

Kita semua mengenakan topeng, karena tak sempurna. Sebagian orang sadar mengenakan topeng, sebagian lain menganggap topeng itu wajahnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Agustus 2013.

Silakan Kalau Percaya

Orang kaya yang mengatakan dirinya bisa kaya karena rajin beribadah, sama seperti wanita cantik yang bilang dia jadi cantik karena rajin wudhu.

Kalau ada yang percaya ya silakan saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 September 2021.

Berbaring di Sampingmu

Aku kadang membayangkan... berbaring di sampingmu, dan berbisik, “Bagaimana kamu bisa tahu algoritma Facebook?”

Ini Sebab Saya Menulis Tanpa Sebab

Ya. Sebab.

Begini, Begini

Begini, begini.

Jumat, 01 November 2024

Malam Minggu, Sebuah Percakapan

Malam Minggu, di tempat makan langganan, saya duduk di sebuah meja yang kosong, menikmati makan malam sendirian. Masing-masing meja di tempat makan itu memiliki empat kursi, tapi saya hampir selalu sendirian di salah satu meja.

Usai makan, saya menyesap minuman di gelas, lalu menyulut rokok. Semenit kemudian, seseorang mendatangi meja saya, dan kami saling sapa dengan ramah. Dia lalu duduk di salah satu kursi, dan kami bercakap-cakap. 

Seiring percakapan, kami membicarakan suatu fenomena yang sedang ramai di mana-mana, dan dia mengeluarkan ponselnya. Dia membuka suatu halaman di layar ponsel, lalu menyodorkannya di atas meja.

Di layar ponsel, saya melihat foto seseorang yang tidak asing. “Kamu pasti mengenal orang ini,” dia berujar.

“Ya,” saya mengangguk.

“Aku telah memindai ribuan catatan yang kamu tulis di internet—di blog, di media sosial, juga di situsmu—dan tidak satu kali pun kamu pernah menyebut nama orang ini. Padahal ada banyak orang yang meributkannya, khususnya akhir-akhir ini, ketika muncul fenomena yang kita bicarakan tadi.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu berkata, “Penjelasannya panjang.”

Dia tersenyum. “Kalau begitu, mari kita mulai sebelum tempat makan ini tutup.”

Saya ikut tersenyum, lalu berkata perlahan, “Dulu, waktu aku masih SMP, ada seorang pria yang meninggal dunia. Seperti biasa, pria yang meninggal itu dimandikan oleh seseorang yang disebut ‘lebe’ (modin). Ketika Pak Lebe sedang memandikan jenazah tersebut, datang seorang pria tetangga si jenazah, dan mendekati tempat pemandian. Dia, si pria tetangga itu, tiba-tiba meletakkan uang koin di pusar si jenazah. Setelah itu dia pergi begitu saja.”

“Dan siapa orang yang meninggal itu?”

“Aku tidak tahu siapa orang yang meninggal itu. Tetapi, orang yang meletakkan koin di pusarnya—si pria tetangganya—adalah orang di foto ini.”

Dia melihat ke ponselnya, memperhatikan foto yang masih terpampang di sana, lalu berkata dengan bingung, “Jadi, orang ini datang ke rumah tetangganya yang meninggal, yang waktu itu sedang dimandikan, lalu—tanpa babibu—dia meletakkan uang koin di pusarnya, begitu?”

“Ya,” saya mengangguk.

Dia menatap saya dengan bingung. “Kenapa dia melakukan itu? Maksudku, kenapa dia tiba-tiba mendatangi tetangganya yang meninggal, lalu meletakkan uang koin begitu saja di pusarnya?”

“Aku tidak tahu.”

“Kamu tidak terpikir mengonfirmasi hal itu ke Pak Lebe yang memandikan jenazah?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Mari kita lihat latar peristiwanya. Pertama, waktu itu aku masih SMP. Kedua, peristiwa itu terjadi di tempat yang cukup jauh, dan aku merasa tidak punya kepentingan apapun. Ketiga, orang yang fotonya ada di ponselmu—yang meletakkan koin di pusar si jenazah yang sedang dimandikan—waktu itu dikenal sebagai orang yang... yeah, aneh.”

“Jadi, ketika peristiwa itu terjadi, dia belum seterkenal sekarang?”

“Sama sekali belum! Waktu itu dia cuma dikenal sebagai orang kampung biasa, yang tingkahnya kadang dianggap aneh.”

Dia mengangguk-angguk. “Uhm, bagaimana cerita tadi—soal dia meletakkan koin di pusar jenazah—bisa tersebar hingga kamu tahu?”

“Itu peristiwa yang tidak lazim, dan hal-hal semacam itu biasanya mengalir dari satu percakapan ke percakapan lain. Di masa itu, kebetulan aku berteman dengan seseorang yang punya hubungan dengan orang-orang di sekitar orang aneh tadi, dan aku mendengar kisah aneh itu dari temanku. Tapi kisah itu memang terkonfirmasi, dalam arti memang benar terjadi, dan para tetangga di sana tahu semua.”

Dia kembali mengangguk-angguk. “Menurutmu sendiri... apa yang sebenarnya terjadi terkait peristiwa aneh itu?”

“Aku tidak yakin. Tapi menurutku, dia mungkin punya masalah semacam halusinasi, dan itu menjelaskan banyak hal yang kemudian terjadi, yang belakangan menempatkannya sebagai orang terkenal dan... kontroversial seperti sekarang.”

Lalu percakapan kami masuk ke topik itu secara intens, menggali peristiwa demi peristiwa, yang foto-foto dan beritanya telah ia siapkan di ponselnya. Ada banyak foto dan video, ada banyak peristiwa, ada banyak berita dan wawancara, dan semuanya melibatkan orang yang sama. Penelusuran itu akhirnya membawa kami pada kesimpulan yang sama.

Setengah jam kami membicarakan itu, dan akhirnya dia berkata, “Jadi itu penyebab kenapa kamu sama sekali tidak pernah menyebutnya dalam tulisanmu?”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, lalu menyahut, “Memangnya apa yang harus kukatakan? Dan kalaupun aku menjelaskannya, siapa yang akan percaya?”

“Jadi, terkait fenomena yang akhir-akhir ini terjadi...”

Dia sengaja tidak melanjutkan kalimatnya, tapi saya paham maksudnya. “Iya, fenomena itu sebenarnya telah dimulai sejak berpuluh tahun lalu, dan yang sekarang terjadi adalah ledakannya.”

Sekali lagi, percakapan kami masuk secara intens ke dalam banyak peristiwa, dan sekali lagi dia membuka banyak dokumentasi di ponselnya. Ketika semuanya terkuak, dan dia memahami segalanya, kata yang keluar dari mulutnya adalah, “Ini semua sungguh gila...”

“Memang,” saya mengangguk, “dan itulah kenapa selama ini aku memilih diam saja.”

Pelayan lewat, dan kami memesan dua minuman baru. Ketika gelas-gelas minuman diantarkan, kami menyesapnya, lalu kembali menyulut rokok.

Saya menyandarkan punggung ke sandaran kursi, dan orang di depan saya tampak kembali membuka ponselnya.

Sesaat kemudian, dia berkata, “Ganti topik. Ada temanku di Semarang yang sangat ingin mendengar penjelasanmu soal ini, karena dia yakin kamu tidak menjelaskan semuanya di sini.” 

Dia menyodorkan ponselnya, dan saya mendapati tulisan saya sendiri di situs BSM. Sambil tersenyum, saya menyahut, “Kita sama-sama tahu apa artinya.”

Dia ikut tersenyum. “Kamu bersedia menjelaskannya? Dia bersedia membayar untuk itu.”

“Ya? How much?”

Dia menyebutkan sejumlah angka, dan saya mengangguk. “Deal.” 

Dia tersenyum senang. “Jadi, kapan kamu bisa menemui temanku? Aku akan mengantarmu.”

“Setelah uangnya masuk ke rekeningku.” 

Dia menelepon temannya, dan mereka bercaka-cakap. Lalu dia meminta nomor rekening saya, dan saya menyodorkan ponsel kepadanya. Dia mendiktekan nomor-nomor yang tertera di ponsel saya, dan sesaat kemudian dia menutup ponselnya.

“Cek rekeningmu,” ujarnya kepada saya.

Saya membuka ponsel, mengecek rekening, dan mengangguk puas.

Keesokan siangnya, kami pergi ke Semarang.

Hidayah dan Playboy

[Respons pada klaim seseorang di Twitter yang menyebut perusahaan yang menerbitkan Majalah Hidayah adalah perusahaan sama yang menerbitkan Majalah Playboy Indonesia dan Tabloid POP.]

Maaf, ini keliru. Majalah Hidayah tidak terkait dengan Playboy, juga tidak terkait dengan Tabloid POP. Banyak orang salah paham karena nama perusahaan yang mirip. Perusahaan yang menaungi Hidayah adalah PT Variapop Group. Sedangkan yang menaungi POP adalah PT Varia Pop Nusantara.

Dan perusahaan yang menerbitkan Playboy edisi Indonesia adalah PT Velvet Silver Media.

Tambahan: Majalah yang satu grup dengan Hidayah, di antaranya Paras, Anggun, Muslimah, dan Berita Indonesia (yang terakhir ini hanya beredar di Malaysia, dan dikonsumsi orang kita di sana).

Kalau-kalau ada yang penasaran dan bertanya-tanya kenapa aku bisa tahu soal ini, karena topik ini sebenarnya terkait dengan "pertempuran media" pada awal 2000-an. Waktu itu Indonesia booming media cetak, dan "perang besar" terjadi. Ceritanya panjang. Ntar malam aja, kalau selo.

[Ceritanya sudah kutulis di sini: Perang di Booming Balik Media Cetak Era 2000-an.]


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Agustus 2019.

Hanyalah Debu

Kau dan aku hanyalah 2 dari 7 miliar manusia, dan manusia hanyalah 1 dari 9 juta spesies di bumi, dan bumi hanyalah 1 dari 8 planet yang mengitari matahari, dan matahari hanyalah 1 dari 300 sextilliun (miliar triliun) bintang yang ada di alam semesta.

Kau dan aku hanyalah debu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2019.

Manusia Berpikir, Tuhan Tertawa

Di utara Kosta Rika, dekat Tenorio Volcano National Park, ada sungai luar biasa indah bernama Rio Celeste. Sungai ini berwarna biru langit.

Bagaimana sungai itu bisa memiliki warna biru langit seindah itu? Kalau kita tanya masyarakat lokal, jawabannya sangat mencengangkan.

 “Setelah Tuhan menciptakan dunia dan seisinya,” menurut legenda setempat, “dan setelah selesai melukis langit dengan warna biru cemerlang, Tuhan lalu mencuci kuas-Nya di Sungai Kosta Rika yang indah. Karena itulah, sungai di sana memiliki warna yang sama dengan biru langit.”

Karena hal itu pula, Rio Celeste menjadi sungai yang dihormati sebagai tempat suci oleh masyarakat yang tinggal di sana.

Tapi benarkah Tuhan mencuci kuas-Nya di sana? Sebenarnya, warna biru di sungai itu “cuma” reaksi kimia antara uap sulfur dan kalsium karbonat di dasar sungai.

Imajinasi manusia memang luar biasa, kalau dipikir-pikir. Saat mereka menghadapi kenyataan yang sulit dipahami akal, mereka pun mengarang sendiri jawabannya, dan meyakini sepenuh hati bahwa itulah jawabannya. Karena itulah, mungkin, “manusia berpikir, dan Tuhan tertawa.”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Juni 2019.

Hal Terpenting yang Seharusnya Dilakukan Anak Muda Indonesia

Apa hal terpenting yang seharusnya dilakukan anak muda Indonesia saat ini?
—@VICE_ID


Belajar. (Bahkan para malaikat di surga akan sepakat denganku.)
—@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Juli 2019.

Sangat Sederhana

Kadang-kadang cinta sangat sederhana. Kau membuka akun Twitter atau FB seseorang, dan kemudian jatuh cinta kepadanya. Sesederhana itu.

Kadang-kadang hidup sangat sederhana. Kau menemukan seseorang yang tepat seperti yang kauimpikan, dan hidup berubah warna. Sesederhana itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Mei 2014.  

Merindukan Keponakan

Keponakanku sekarang udah besar, dan aku merindukan saat-saat dia masih kecil dulu, saat masih cadel dan lucu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juni 2019.

Dianggap Benar Padahal Salah

Kebiasaan yang dilakukan banyak orang, dan dianggap sebagai hal benar, padahal salah: Merasa lebih tahu tentang orang lain.

Orang lain melakukan sesuatu, dan kita berasumsi. Orang lain tidak melakukan sesuatu, dan kita berasumsi. Lalu kita meyakini asumsi kita benar. Padahal, sesuatu disebut asumsi justru karena ia tidak benar. Karena itulah asumsi sering dicibir sebagai "ass-u-me".

"Tapi aku tidak berasumsi..."

Lalu apa? Melakukan penelitian ilmiah? Menyandarkan pikiran/keyakinan pada perkiraan yang dasarnya rapuh (tidak kuat/tidak lengkap), itu namanya asumsi. Karena itulah karya ilmiah membutuhkan referensi/penelitian, untuk membedakannya dengan asumsi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Juni 2019.

Wong-wong Ora Ilmiah

Sudah ada perumahan islami, sekarang kita mungkin membutuhkan perumahan akademis, yaitu tempat orang-orang bisa hidup dengan damai, ilmiah, dan akademis, saling menghargai dan menghormati tapi tidak saling ngerusuhi.

Kalau ada perumahan semacam itu, aku mau beli.

Urip karo wong-wong ora ilmiah memang nggateli. Karena kita harus selalu sama seperti mereka. Bahkan mereka masuk ke lubang biawak, kita harus ikut masuk terjebak di lubang bawak. Hukum yang berlaku dalam kehidupan orang-orang tidak akademis cuma satu: Kau berbeda, kau salah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juni 2019.

Never Rest

The best is never rest.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Mei 2014.  

Minggu, 20 Oktober 2024

Omong-omong Soal Tahlilan

Masuk Twitter, dan yang kudapati di timeline adalah ribut-ribut soal tahlilan. Ajib bener Twitter ini.

Omong-omong soal tahlilan...

Sambil nunggu udud habis.

Idealnya memang seperti ini. Tahlilan jangan sampai memberatkan pihak yang berduka karena baru ditinggal mati anggota keluarganya. Kalau yang ada cuma teh anget, misalnya, yo wis teh anget saja.

Ketua PBNU menegaskan bahwa tahlilan bisa tetap dijalankan cukup dengan sajian air putih dan kue seadanya. http://dlvr.it/SfjK3Z

Sayangnya, sesuatu yang ideal sering kali sulit dilakukan atau diwujudkan. Ketika sebuah keluarga—khususnya di lingkungan NU—berduka cita karena kematian anak, orang tua, atau lainnya, mereka seperti dituntut untuk mengadakan tahlilan dengan jamuan yang “pantas”.

Yang disebut “pantas” itu tentu relatif, dan biasanya berkaitan erat dengan adat setempat. Kalau adat setempat misalnya biasa menyuguhkan jajan, nasi, dan memberikan sekilo beras dan gula-teh untuk peserta tahlilan, rata-rata orang setempat akan menganggap itulah yang “pantas”.

Masalahnya, tidak semua orang punya kemampuan [finansial] yang sama. Sebagian orang mungkin enteng saja menyuguhkan minuman dan aneka jajan, nasi, dan memberikan beras sekilo plus gula dan teh untuk masing-masing peserta tahlilan. Tapi sebagian lain belum tentu mampu seperti itu.

Di titik semacam itulah, masalah kadang terjadi—meski mungkin diam-diam. Ada sebagian orang yang hidupnya susah, lalu ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka sudah pusing memikirkan biaya pemakaman dll, lalu harus mikir pula biaya mengadakan tahlilan sampai berhari-hari.

Gus Fahrur (KH. Ahmad Fahrur Rozi, Ketua PBNU Bidang Keagamaan) menyatakan, “tahlilan bisa tetap dijalankan, cukup dengan sajian air putih dan kue seadanya. Tidak perlu memberatkan shohibul mushibah yang kondisi ekonominya tidak mampu.”

Kita tentu sangat setuju saran itu.

Masalahnya, seperti yang disebut tadi, ada “adat setempat”, dan masyarakat merasa “pekewuh” kalau tidak mematuhi adat setempat. Jadinya, kadang mereka sampai memaksa diri, misal berutang, demi bisa sesuai dengan adat setempat dan dinilai pantas saat mengadakan acara tahlilan.

Hal semacam itulah yang mungkin mendorong mbak ini sampai menulis tweet [yang mungkin terkesan kasar] seperti ini. Sebagai warga NU, sejujurnya aku bisa memahami maksud dan kegelisahan mbak ini.

Petinggi NU harusnya sadar & mau menjelaskan kepada umatnya/jemaahnya* bahwa tradisi seolah mewajibkan perayaan kematian keluarga di hari ke 7--14-40-100 itu ga wajib bahkan ga ada tuntunannya. Dan hanya memberatkan jelata saja. Faktany org miskin di Indonesia ini banyak dr NU —@salima252lagi

Imam Syafii, dalam Kitab Al-Umm jilid 1, menyitir kisah Nabi Muhammad SAW saat seorang sahabat ditinggal mati keluarganya. Nabi berkata, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan (ditinggal mati anggota keluarga).”

Nabi SAW meminta orang-orang menyiapkan makanan untuk keluarga yang sedang berduka, bukan meminta keluarga yang sedang berduka untuk menyiapkan makanan bagi orang-orang lain. Karena ditinggal mati anggota keluarga itu kesedihan luar biasa, dan mereka butuh bantuan serta simpati.

Karenanya, kita setuju dengan saran Gus Fahrur tadi, bahwa kalau memang ingin mengadakan tahlilan, jangan sampai acara itu memberatkan pihak yang sedang berduka. 

Dan untuk sampai pada kesadaran semacam itu, masyarakat membutuhkan edukasi dari para ulamanya.

Postscript: 

Aku orang NU, dan suka tahlilan, karena acara itu membantuku mengingat serta merenungkan takdir makhluk fana. Jadi tak perlu defensif apalagi ofensif kalau mau menanggapi ocehan ini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 21 Desember 2022.

Sejarah Tahlilan

Kalau ada yang mengatakan bahwa tahlilan itu tradisi, ya tidak salah. Karena nyatanya memang tradisi, kok. Tahlilan adalah kreasi Walisongo—khususnya Sunan Kalijaga—yang menyebarkan ajaran Islam melalui akulturasi, dalam hal ini kultur masyarakat Jawa.

Jauh sebelum Islam masuk ke Tanah Jawa, masyarakat punya adat/tradisi menemani keluarga yang baru ditinggal mati anggota keluarganya. Mereka menyadari bahwa ditinggal mati anggota keluarga itu kesedihan yang berat, jadi mereka menemani sebagai bentuk simpati.

Sampai tujuh hari mereka menemani keluarga yang bersedih; menghibur, membantu apa pun yang bisa dibantu, intinya meringankan beban keluarga yang baru ditinggal mati anak atau orang tuanya. Itu tradisi yang mencerminkan keluhuran kemanusiaan, khususnya di zaman itu.

Lalu Islam masuk ke Tanah Jawa, dibawa oleh Walisongo. Kita tahu, Walisongo menyebarkan Islam dengan cara akulturasi; membiarkan tradisi yang sudah ada, dan memasukkan ajaran Islam ke dalamnya. Tahlilan adalah salah satunya, yang terus ada hingga ke masa kini.

Sebelum Islam masuk, orang-orang Jawa menemani keluarga yang berduka selama tujuh hari. Walisongo membiarkan hal itu, sekaligus memasukkan ajaran Islam ke dalam tradisi tersebut, dengan cara memasukkan kalimat thayibah, dari tahlil sampai pembacaan Yaasin.

Jadi, apakah tahlilan itu tradisi? Ya, karena akarnya memang tradisi. Apakah tahlilan itu ajaran agama? Juga ya, karena di dalamnya ada ajaran agama. Seperti kata Gus Baha, “Orang yang 80 tahun kafir, lalu mengucap ‘Laa ilaaha illallah’ maka ia menjadi mukmin.”

Lalu mengapa Muhammadiyah tidak setuju dengan tahlilan? Sebenarnya, kalau mau blak-blakan, pihak pertama yang tidak setuju dengan tahlilan bukan Muhammadiyah, tapi anggota Walisongo sendiri. Sunan Ampel, misalnya, tidak setuju dengan ide akulturasi Sunan Kalijaga.

Tetapi, singkat cerita—karena uraiannya bisa panjang sekali—musyawarah para wali waktu itu akhirnya menyepakati ide Sunan Kalijaga untuk melakukan akulturasi dalam penyebaran Islam di Jawa. Namun, bagaimana pun, friksi tak bisa dihindari, karena perbedaan pemikiran.

Sunan Ampel, Sunan Drajat, dan Sunan Giri, adalah tipe orang-orang yang “sangat lurus”. Mereka ingin ajaran Islam disebarkan dengan cara Islam, bukan lewat akulturasi. Mereka mungkin semacam KH. Ahmad Dahlan, yang belakangan mendirikan Muhammadiyah.

Sebaliknya, Sunan Kalijaga dan sunan-sunan yang lain, tipe orang moderat, yang lentur menghadapi kenyataan di lapangan. Mereka ingin masyarakat menerima sesuatu yang mereka bawa (ajaran Islam), tapi tidak ingin memaksa. Akulturasi adalah jalan tengah.

Berdasarkan mozaik singkat ini, kita pun memahami kenapa di Indonesia ada dua organisasi besar Islam (NU dan Muhammadiyah) yang berbeda dalam hal-hal tertentu, salah satunya terkait tahlilan. Akar sejarahnya merentang ke setengah milenium yang lalu.

Sampai di sini, kalian mungkin bertanya-tanya, “Lalu apa hubungan semua ini dengan pembantaian enam ribu ulama oleh Amangkurat I?” Itu adalah jejak berdarah yang memberi pelajaran keras pada semua pihak bahwa memaksakan suatu pemikiran bisa berdampak mengerikan.

Karenanya, sikap ulama NU maupun Muhammadiyah sekarang sebenarnya sudah tepat; mau tahlilan ya monggo, tidak tahlilan yo ora opo-opo. Karena esensinya adalah “anak salih yang mendoakan orang tua”. Cara yang digunakan bisa berbeda, dan itu tidak apa-apa. 

Debat Tahlil dan Pembantaian Ulama

Mau logout, tapi udud belum habis.

Boleh percaya boleh tidak, urusan “debat tahlilan” sudah dimulai sejak 400 tahun yang lalu. Jadi ribut antara NU dan Muhammadiyah itu bisa dibilang cuma “meneruskan tradisi”. Ya tidak apa-apa, sih. Beda, tapi saling menghormati.

Udud tinggal sedikit.

Pada 1647, Amangkurat I, Raja Kesultanan Mataram Islam, memerintahkan bawahannya untuk membantai 6.000 ulama (dan anggota keluarga mereka) di Alun-Alun Plered Mataram. Alun-alun banjir darah waktu itu, dan, di saat sama, Mataram tak lagi punya ulama.

Mengapa peristiwa tragis dan mengerikan semacam itu bisa terjadi? 

Menurut sejarah, pembantaian para ulama itu dilatari dendam Amangkurat I atas kudeta yang dilakukan adiknya sendiri, Raden Mas Alit. Kudeta itu gagal, dan adik Amangkurat I tewas dalam upaya kudeta tersebut.

Masih menurut sejarah, Amangkurat I mencurigai para ulama di Mataram jadi pendukung adiknya yang melakukan kudeta. Karenanya, dia lalu membantai para ulama di alun-alun, beserta seluruh keluarga mereka. 

Itu kata sejarah. Tapi sejarah, kita tahu, “ditulis oleh pemenang”.

Fakta yang terjadi tidak sesederhana yang ditulis oleh sejarah. Kita akan memahami kenyataan itu, ketika akhirnya Trunajaya balik melakukan pembalasan dendam kepada Amangkurat I, sekaligus menamatkan riwayat Mataram. 

Uraiannya sangat panjang, tapi ududku habis. Sori.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 21 Desember 2022.

Tahlilan dan Dialetika

Kalau ada orang Indonesia meributkan tahlilan, sejujurnya aku tidak heran, karena, bagaimana pun, ada organisasi besar (Muhammadiyah) yang secara terang-terangan tidak melakukan tahlilan. Jadi kalau sewaktu-waktu ada orang yang meributkan tahlilan, ya itu dialektika.

Dalam pengetahuan dan keyakinan, dialektika dibutuhkan, agar kita terus belajar, memperbarui diri, sehingga tidak kedaluwarsa. Tanpa dialektika, pengetahuan kita tidak berkembang, dan bisa jadi kita masih memegang pengetahuan yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman.

Jadi, kalau sewaktu-waktu ada lagi yang meributkan tahlilan atau lainnya, ya hadapi saja sebagai dialektika. Tidak perlu ngamuk. Dialektika itu kan tidak menyerang pribadi, tapi mempertanyakan hal-hal yang kita ketahui atau yakini... dan itu kesempatan memperbarui diri.

Berpijak pada ribut-ribut soal tahlilan, ada sesuatu yang masih membuatku bingung. Muhammadiyah sudah jelas tidak setuju tahlilan, dan mereka menampakkan ketidaksetujuannya terang-terangan, karena punya perspektif sendiri yang berbeda. Dan itu bukan masalah! 

Yang membuatku masih bertanya-tanya, kenapa Muhammadiyah sepertinya “setuju-setuju saja” dengan pemahaman bahwa “Idul Fitri memiliki arti kembali suci”, padahal itu salah kaprah? 

Fenomena perayaan Idul Fitri [khususnya di Indonesia] sama seperti tahlilan, dalam arti hanya tradisi, tapi kenapa Muhammadiyah setuju?

Meikarta dan Utopia

Omong-omong soal [iklan] Meikarta...

Sambil nunggu udud habis.

Dulu, waktu melihat video iklan Meikarta, aku merasa seperti melihat cahaya di era distopia. Mungkin itu pula yang ada dalam benak banyak orang, karena tujuan iklan itu memang mengarahkan persepsi semacam itu. Bahwa Meikarta adalah solusi logis dan indah di tengah distopia.

Sebuah mobil melaju di jalan, di dalamnya ada sebuah keluarga dengan anak kecil yang melihat ke luar... menyaksikan dunia yang suram, gelap, dengan orang-orang lusuh bahkan mungkin jahat. 

Dan mobil itu melaju ke arah cahaya, sebuah “dunia baru”—janji-janji Meikarta.

Iklan Meikarta mengingatkanku pada film Elysium (2013), yang memperlihatkan kehidupan terbagi menjadi atas dan bawah. Dunia atas adalah Elysium, tempat orang-orang superkaya menjalani hidup mewah dan beradab, sementara dunia bawah adalah neraka orang-orang miskin.

Jadi, ketika menyaksikan iklan Meikarta, aku membayangkan kompleks kota atau perumahan itu—kalau sudah jadi—kelak akan semacam Elysium, tempat sebagian orang merasa menjalani kehidupan beradab, sementara dunia di luar mereka adalah “kehidupan yang berbeda” dengan mereka.

Meikarta atau Elysium sebenarnya utopia yang telah menjadi bayangan manusia sepanjang masa—semacam kesadaran [atau bayangan magis] bahwa dunia ini tidak adil, dan kita membutuhkan dunia lain yang adil, bahwa kehidupan ini suram dan kita butuh kehidupan lain yang indah.

Elysium hanya ada di dunia fiksi, sementara Meikarta ada di dunia kita. Tapi benarkah ia memang ada? Atau jangan-jangan utopia memang sebatas utopia, dan janji indah hanya sebatas janji indah... dan, mau tak mau, manusia harus menerima kenyataan sambil berupaya memperbaikinya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 12 Desember 2022.

Belajar

Aku sering belajar dari kesalahan, tapi... oh, tetap saja aku sering melakukan kesalahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 29 Juli 2012.

Berita Duka

Berita duka hari ini: Nabilah mundur dari JKT48.

Akun @NabilahJKT48 juga sekarang hilang. Aku kudu piye iki? Apalah arti Twitter tanpa akun Nabilah?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Oktober 2017.

Seharusnya

Ada jutaan "seharusnya" yang bisa kukatakan, Tetapi, aku sadar, seharusnya aku tidak pernah mengatakan "seharusnya", kalau saja aku belajar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Bodo Amat

Kalau aku memasukkan sesendok garam ke laut, mungkin air laut tidak bertambah asin. Tapi peduli amat! Aku suka melakukannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 27 Juli 2012.

Suara Inka Christie

Suaranya Inka Christie tuh memang magic!

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Juni 2014.  

Semalam

Semalam aku bermimpi tentang bulan. Mendengarkan ceritanya yang membuatku tersenyum. Masih ingin bersamanya, tapi aku terbangun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 3 Agustus 2012.

Kamis, 10 Oktober 2024

Wahai Orang-orang yang Tidak Tahu Apa Itu Introvert

Wahai orang yang tidak tahu apa itu introvert, dengarkan ini: Introvert sejati memang suka sendirian, tapi mereka TIDAK PERNAH KESEPIAN.

Agar kesalahpahaman ini tidak terus menerus terjadi, dan menulari orang-orang lain yang tidak tahu, sepertinya aku perlu ngoceh.

Sambil nunggu udud habis.

Ada perbedaan esensial antara KESENDIRIAN dan KESEPIAN. 

Kesendirian adalah kondisi seorang diri, yang memang DIINGINKAN pelakunya. Sementara kesepian adalah kondisi seorang diri atau bahkan bersama orang lain, yang TIDAK DIINGINKAN pelakunya.

KESENDIRIAN bisa dilihat secara kasatmata, karena orangnya memang benar-benar sendirian, atau sengaja menyendiri. 

Sementara KESEPIAN tidak bisa dilihat secara kasatmata, karena kondisi itu ada dalam pikiran dan batin orang per orang. Kesepian adalah keadaan psikis.

Ada orang yang terus menerus sendirian, tapi tidak kesepian. Biasanya, mereka yang begitu adalah introvert sejati. 

Sebaliknya, ada orang yang bersama sekelompok orang lain, tampak bahagia dan tertawa-tawa, tapi sebenarnya ia merasa kesepian. 

Bisa melihat perbedaannya?

Kesepian tidak identik dengan kesendirian, pun kesendirian tidak identik dengan kesepian. 

Kesendirian adalah pilihan yang didasari kesadaran (bahwa ia ingin sendiri), sementara kesepian adalah kondisi batin yang tidak diinginkan, terlepas sendirian atau bersama orang lain.

Seorang introvert menyukai, bahkan menikmati, kesendirian. Karena di saat-saat sendirian, mereka merasa begitu tenang, damai, kreatif, energinya berlimpah, dan bisa menggunakan waktunya untuk hal-hal yang menurut mereka perlu dilakukan. Mereka tidak pernah merasa kesepian.

Sebaliknya, orang yang bukan introvert akan tersiksa saat sendirian, merasa kesepian, butuh bertemu orang, pendeknya tidak nyaman selama sendirian. Itulah perbedaan introvert dan bukan introvert.

Bagi introvert, kesendirian adalah surga—bagaimana mungkin itu membuatnya kesepian?

TIDAK PERNAH KESEPIAN MESKI SENDIRIAN adalah berkat yang hanya dimiliki orang-orang introvert. 

Jadi kalau kamu merasa kesepian saat sendirian, sudah jelas kamu bukan introvert! 

Kalau kamu selalu butuh bersama orang lain, jelas dan gamblang kamu bukan introvert!

Inilah alasan kenapa banyak introvert tidak buru-buru menikah, kadang bahkan tidak berminat menikah sama sekali. Karena mereka sangat menikmati kesendirian! 

Introvert yang "buru-buru" menikah biasanya karena kebetulan menemukan seseorang yang sangat “sempurna” bagi dirinya.

Introvert tidak antisosial. Mereka menikmati bersosialisasi, dan berteman, dengan orang-orang yang mereka anggap tepat; orang-orang yang bisa diajak ngobrol secara mendalam; orang yang tahu empati tapi bisa bicara to the point; orang yang benar-benar bisa dipercaya.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, tapi ududku habis. 

Akhir kata, aku seorang introvert. Jadi aku tahu, benar-benar tahu, apa yang kukatakan sekarang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 November 2022.

Sendirian, dan Melakukan Hal Besar

Aku selalu terinspirasi, dan jiwa bocahku bergetar, tiap menemukan orang yang sendirian... tapi mampu melakukan hal-hal besar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 November 2022.

Ingin Melelang

Ingin melelang kebocahanku. Apppeeuuuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Mei 2020.

Guyonan Orang Susah

Seseorang mengatakan, “Aku ingin hidup susah sehari aja, rasanya suliiiiit sekali!”

Saya menyahut, “Lhoh, bagus gitu, dong! Berarti hidupmu bahagia terus, kan?”

“Bukan gitu! Aku ingin hidup susah sehari aja, bukan tiap hari susah terus!”

Pengalaman

Pengalaman adalah guru yang keras. Ia memberi ujian lebih dulu, dan pelajaran belakangan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Juli 2012.

Suatu Hari Nanti

Temanku pernah berkata, "Suatu hari nanti aku akan masuk koran. Di kolom berita kematian." | Sejak itu, kami selalu saling mendoakan.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Terlambat

Waktu berjalan cepat. Dan kita tetap saja terlambat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2012.

Nonton Mata Najwa

Tiap kali nonton "Mata Najwa", aku sering berpikir kalau Najwa Shihab adalah Guru BP yang sedang menegur kesalahan murid-muridnya.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Rengi-rengi Hota Hai Tiada

Entah kemana.

Ora Masuk Akal Blas!

Iyo.

Selasa, 01 Oktober 2024

Wanita Bongsor

Barusan nonton video di YouTube, ada iklan pelangsing badan, dan menampilkan semacam testimoni dari para wanita yang mengonsumsi. Salah satu wanita mengatakan, “Karena badan saya bongsor, saya jadi kurang percaya diri. Makanya saya rutin mengonsumsi suplemen ini.”

Aku mengerutkan kening waktu melihat iklan itu. Kenapa wanita harus kurang percaya diri karena berbadan bongsor? Itu bukan kekurangan atau masalah, kan? Apa salahnya wanita berbadan bongsor? Bongsor itu kan tinggi besar, ideal, dan—kalau boleh kutambahkan—menggemaskan.

Punya badan bongsor bukan kekurangan, itu justru kelebihan [dalam arti positif]. Di mataku, sebagai bocah, wanita bongsor tuh daya emessssh-nya lebih damage. 

Daya appppeeeeeuuuuhh? 

Daya mbakyu. 

Apppeeeuuu...

Ilmuwan di Pittsburgh University dan California University, AS, menemukan bahwa anak-anak yang dilahirkan ibu bertubuh bongsor rata-rata punya kecerdasan yang lebih baik.

Tim ilmuwan dari dua universitas itu melakukan penelitian terhadap 16 ribu anak, dan mendapati anak yang dilahirkan ibu berbadan bongsor terbukti mampu menyelesaikan tes psikologi dan kognitif yang lebih baik, dibanding anak-anak yang dilahirkan ibu berbadan kurus atau langsing.

Penelitian itu juga menyebutkan bahwa semakin besar perbedaan lekuk antara pinggang dan pinggul, maka semakin baik pula kecerdasan anak mereka. Dasar dari penelitian itu terkait dengan ditemukannya kandungan fatty acids (asam lemak) yang terdapat pada wanita berpinggul besar.

Asam lemak yang terdapat pada wanita berpinggul besar mengandung sumber omega-3 yang mampu memperbaiki kemampuan mental wanita saat hamil, juga meningkatkan perkembangan kecerdasan janin dalam kandungan. Hasilnya, anak yang mereka lahirkan rata-rata lebih cerdas.

Tentu saja penelitian ini tidak berarti bahwa anak akan cerdas begitu saja jika ibunya bertubuh bongsor. Karena, bagaimanapun, kecerdasan seorang anak tidak semata ditentukan tubuh ibunya, tetapi juga terkait kondisi ekonomi, psikologis, serta peran ibu sebagai orangtua. 

Namun, meski begitu, hasil penelitian ini setidaknya dapat memberi semangat bagi para wanita yang memiliki tubuh bongsor, agar lebih bangga dengan kondisi yang dimilikinya, dan tidak menyiksa diri—baik dengan diet ataupun obat-obatan—agar memiliki tubuh yang kurus/langsing.  

Kesimpulannya, dan ini mungkin terdengar tidak ilmiah, di dunia ini tidak ada yang mengalahkan wanita bongsor... kecuali Optimus Prime.

Para Pembalas Dendam

Ada film Australia berjudul John Doe: Vigilante. Berkisah tentang seorang pria misterius yang menghabisi para bajingan—yang tak tersentuh hukum—dengan cara yang cerdik sekaligus brutal. John Doe: Vigilante adalah Batman dalam versi lebih gelap, sekaligus lebih mematikan.

Aksi-aksi vigilante sering kali berawal dan berasal dari dendam pribadi. Seperti Bruce Wayne di Gotham menjadi Batman karena dendam atas kematian orang tuanya, John Doe di Australia juga menghabisi para bajingan karena dendam pribadi akibat istri dan anaknya dibunuh penjahat.

Ada banyak film yang pernah kutonton, yang mengisahkan aksi-aksi vigilante—aku selalu suka film semacam itu. Law Abiding Citizen, Peppermint, Man on Fire, dan banyak lainnya. Senang sekali rasanya menyaksikan para bajingan dibantai, dan para penjahat berdarah-darah.

Semua kisah vigilante dalam film-film itu mengatakan hal sama; kalau penegak keadilan tidak bisa memberi keadilan, maka keadilan akan menjelma monster mengerikan. Tidak semua korban ketidakadilan hanya akan pasrah dan diam. Sebagian dari mereka menjadi para pembalas dendam.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Oktober 2021.

Paling Megggoda

Dalam pikiranku, cokelat adalah sajian yang lezat. Tapi yang paling menggoda adalah yang putih-putih. Apeu.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juni 2014.  

Iseng Buka DM di Twitter

Tadi siang, karena bete dalam perjalanan, aku iseng buka DM di Twitter. Ternyata ada tumpukan permintaan pesan di DM yang baru aku tahu. Sebagian ada yang telah dikirim beberapa bulan lalu, dan baru tadi siang aku buka/baca. Sebagian lagi bahkan pesan-pesan penting.

Guys. Kalau kalian mengirim permintaan pesan ke DM-ku, dan isinya memang penting (membutuhkan balasan segera), tolong colek/beritahu aku lewat mention. Kalau kamu tidak memberitahu, aku belum tentu tahu, khususnya kalau kamu baru kali ini mengirim permintaan pesan.

“Mengirim permintaan pesan” dan “mengirim pesan” di DM itu hasilnya beda—setidaknya jika dilihat di akunku. Kalau kamu “mengirim pesan” (biasanya karena kita pernah komunikasi via DM), akan langsung muncul notifikasi yang memberitahuku ada pesan baru di DM.

Tapi kalau kamu “mengirim permintaan pesan” (biasanya karena kita belum pernah komunikasi via DM, atau karena aku tidak mengikuti akunmu), pesanmu akan tertumpuk begitu saja di tab “permintaan pesan”, dan sama sekali tidak ada notifikasi, hingga aku tidak tahu.

So, sori buat yang sudah mengirim DM sejak lama tapi baru tadi siang aku balas, juga maaf banget untuk pesan-pesan yang sudah “kedaluwarsa” karena sudah dikirim sejak lama banget, dan sepertinya tidak perlu aku balas. Ini mungkin klise, tapi semoga kalian tidak kecewa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 November 2021.

 
;